Dari Surakarta hingga Edinburgh

           

ada yang bermimpi ingin bertemu kak alfito? seorang jurnalis, moderator debat cawapres lalu? we did!

        Gue selalu yakin dan percaya, bahwa setiap manusia yang berjiwa hanif di muka bumi ini memiliki misi kebaikan masing-masing. Ada yang menyalurkannya lewat pergerakan, menulis, berkarya, bahkan merantau ke negeri orang untuk melihat cakrawala yang menarik hati. Semua mengekspresikannya dengan cara yang berbeda, namun muaranya tetap satu, kebaikan.

            Dan semua itu berawal dari mimpi. Iya, mimpi untuk mewujudkan misi itu. Sst, gue kasih tau ya, masa depan seseorang itu sedikit bisa ditebak melalui apa yang menjadi kebiasaannya saat ini dan apa yang sedang diperjuangkannya sekarang. Gue bukan cenayang btw, cuma menerka aja. Yang sekarang pas masa pandemi terus menerus mengeluh, bikin alesan, bahkan memaki sampai bikin istilah the f corona, hadeh,  sayang banget energinya kebuang cuma buat hal-hal negatif aja. Besok setelah pandemi, ya ga dapet apa-apa. Beda yang terus upgrade diri walau kadang rasa mager menyerang, ahaha.

          Alhamdulillah, selama masa pandemi ini gue dapat 3 beasiswa yang semuanya dilakukan secara daring. Apa pun sesuatu yang seharusnya berbayar dan gue dapet gratis, gue menyebutnya beasiswa, ga peduli berapa nominalnya. Kalau kita mau ubet dikit aja ya gais, atau aktif dikit aja, banyak kok kegiatan berfaedah yang bisa diikuti selama masa pandemi ini baik yang berbayar mau pun gratis. 3 beasiswa yang gue dapet tersebut, sebagian besar infonya dari Instagram, bahkan sambil rebahan pun bisa dapat beasiswa! 2 beasiswa gue dapatkan mengenai workshop jurnalistik, 1 dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surakarta, 1nya dari instansi tempat gue mengabdi, aseek, iya dari Humas UNS di Solopos Institue. Nah, beasiswa yang terakhir, gue dapet dari Bang Rendy untuk ikut kelas persiapan beasiswa ke luar negeri, uhuyyy.

            Nah, tapi kali ini gue gabakal mengupas semua. Misal lo kepo tentang beasiswa yang workshop jurnalistik, send me message for personal, with pleasure, I’ll reply inshaallah. Nah, gue akan sedikit mengupas kelas persiapan beasiswa untuk studi ke luar negeri. Yohoo, para scholarship hunter, sini merapat dulu!

            Kelas persiapan beasiswa ini, diadakan oleh Uda Fuadi. Iyaaa, yang nulis trilogi negeri 5 menara itu! Ganyangka gue bisa satu grup WA bareng beliau, yang tulisannya mashaallah, lo baca sendiri deh, sebelumnya gue pernah sedikit mengulas film N5M disini. Pada Minggu, 14 Juni 2020, para pemimpi di malam nan syahdu, semua menyimak materi yang diberikan oleh Uda Fuadi melalui grup WA yang dibuat. Pada awalnya, Uda menanyakan pada kami, mau dapet beasiswa apa dan dimana sih? Ada yang mau dapat Fullbright, LPDP, AAS, Chevening, dll. Negaranya pun beragam, ada yang pengen ke UK, Australia, Belanda, Jerman, Turki, Prancis, Mesir, dll.

            Uda Fuadi sendiri, selain menjadi penulis, beliau telah mendapat 12 beasiswa ke luar negeri, mashaallah. Nah, tak boleh dilupa beliau ni juga dulunya lulusan pondok loh! So, jangan remehkan lulusan pondok yaa, ehe. #AyoMondok untuk generasi yang madani. Back to topic, buat temen-temen pemburu beasiswa, yang harus kita tanamkan mulai sekarang adalah POLA PIKIR. Yap, tanamkan dalam diri bahwa beasiswa ke luar negeri itu banyak! Buanyak! Kalau Uda ibaratkan beasiswa ke luar negeri itu seperti pohon mangga yang rimbun sedang berbuah, yakalau kita cuma pengen aja, ya sebates gitu aja, beda kalau ada effort buat mencapainya, bisa jadi dapet satu dua mangga.

            Tidak kalah penting adalah mengenai heartset atau niat. Iya, kayak kata narasumber gue kapan hari, niat adalah pekerjaan seumur hidup. Sama seperti ketika ingin dapet beasiswa ke luar negeri, apa niat terbesarnya? Apakah sebatas ingin foto-foto keren ala selebgram? Atau ingin mendapat likes, comments dari netizen? Hmm, luruskan niat dulu kalau kita pengen dapet beasiswa itu karena emang bener-bener pure menuntut ilmu dan belajar lebih dalam ilmu yang ingin kita tekuni dari sumber terbaiknya.

            Tidak ada yang instan di dunia ini, bikin mi instan aja butuh proses buat masak, apalagi buat hal segede ini. Ada yang sampai jungkir balik mendapatkannya. Gabisa santai-santai aja. Persiapkan sedini mungkin kalau emang bener-bener ingin mendapatkan beasiswa. Kalau bisa sekarang udah nargetin, mau gimana detailnya. Kayak, pengen ambil jurusan apa, dimana, dokumen apa aja yang perlu dipersiapkan, bahkan berapa skor minim IELTS pun perlu tahu. Cari tahu mulai sekarang, yaa intinya jangan males dan manja sih! Belum apa-apa udah bilang, aah gue gatau carinya dimana, cariin donk. Enggak gais, kita nggak hidup di gua atau zaman purbakala, sekarang udah ada yang namanya Google, use it wisely.

            Poin yang gakalah penting adalah, ketika kita memutuskan untuk lanjut studi ke luar negeri, make sure, kalau lo emang bener-bener punya passion di bidang yang ingin ditekuni lebih lanjut. Gaperlu memaksakan diri untuk seperti orang lain. Setiap orang beda-beda btw. Based on my experience, setiap orang itu unik. Ketika gue wawancara anah hukum, wadaw nada bicaranya berwibawa, suaranya berat, sedikit bercanda. Anak sastra, uww romantis, manis, puitis, tapi kadang melankolis! Anak teknik, hemat bicara, cenderung to the point. Anak keguruan, sopan, halus, dewasa, dan bijaksana! Eh tapi gabisa digeneralisir sih.  Intinya, setiap orang itu unik dan mereka bisa mengembangkan keunikan masing-masing tanpa harus insecure ketika melihat keunikan orang lain.

            Nah, kelas beasiswa ini berlangsung selama 2 pertemuan. Pertemuan selanjutnya adalah hari Selasa, 16 Juni 2020. Disini Uda Fuadi tidak banyak memberi materi seperti pertemuan sebelumnya. Alhamdulillah, beliau membuka sesi tanya jawab. Jadi, pada sesi ini lebih banyak digunakan untuk tanya-tanya gitu gais dan di akhir, ada zoom meeting buat tanya langsung dan foto. Kesempatan ini pun, ga gue sia-siakan. Gue juga ikut bertanya, eh tapi pertanyaan gue udah ada yang nanyain di awal, jadi gue ganti deh. Ketika itu ada yang bertanya, intinya doi lulusan S1 Pendidikan Bahasa Inggris apa memungkinkan kalau besok ambil lintas jurusan?  Uda Fuadi pun, memberi jawaban yang menyejukkan. “Yang penting alasan pindah jalur itu logis. Apalagi keluarga ilmunya masih ada keterhubungan. Jadi, bangunlah personal statement yang logis. Saya sendiri pindah jurusan. S1 Hub Internasional. S2 Media. S2 yang kedua film. Bisa kalau kita buat alur logisnya.” Begitu jawabnya.

            Terus ada yang bertanya lebih lanjut, yang dimaksud alur logis oleh Uda Fuadi itu macam mana, wkwk kayaknya banyak yaa yang merasa salah jurusan. Nah Uda bilang “Saya belajar HI waktu S1, tapi saya jadi redaktur di majalah kampus dan tertarik dengan jurnalisme. Ketika lulus, saya bekerja sebagai wartawan, mengikuti ketertarikan di bidang jurnalistik. Kini, saya sudah jadi wartawan, tapi rasanya kurang ilmu teori media dan komunikasi karena S1nya beda,” ujar Uda Fuadi.

            So, never lose hope. Selalu ada jalan bagi mereka yang berjuang walau mungkin akan banyak statement “ah masa bisa?”, “ngimpi jangan tinggi-tinggi, ntar jatuh sakit loh!”, “halah, mbok uis, rasah muluk-muluk.” Kalimat terakhir tau ga artinya? Translate yaa biar sekalian belajar bahasa Jawa wkwk.  Gitu gais.

            Disini, gue hanya mengupas sebagian kecil dari materi bergizi nan lezat yang lumer disantap yang disampaikan Uda Fuadi. Furthermore, bisa kok baca buku beliau yang berjudul Beasiswa 5 Benua. Gue nulis begini juga belum tau gimana besoknya. But, at least, dengan begini gue menegaskan kalau mimpi itu masih gue perjuangkan. Entah gimana besok hasil akhirnya, let Allah do the rest. Dan gue yakin, apa pun hasil akhirnya setelah berusaha dan berdoa, itulah yang terbaik.

Gue tekankan, dalam berproses jangan berharap selain pada-Nya, kayak kejadian baru aja banget nget, masih anget. Suatu hari, gue dinyatakan diterima jadi something. Tapi disitu tertulis syaratnya minimal semester sekian dan dari Pendidikan Bahasa Inggris FKIP, sementara gue belum semester itu dan dari jurusan berbeda, singkat cerita, gue nekat daftar dan awalnya gue dinyatakan diterima karena pewawancara bilang, kapabilitas gue memenuhi. But beberapa hari kemudian, Mbaknya bilang minta maaf kalau ternyata setelah berdiskusi dengan yang lain gue belum bisa bergabung disitu dengan alasan gue masih semester dibawahnya. Kecewa?  Pas detik menit awal-awal ya gitu, tapi gue seketika teringat, boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu yang terbaik untukmu. Gue tarik napas, gaboleh ngeluh apalagi guling-guling. Ini yang terbaik! Gue gaboleh sedih! Pasti ada alasan terbaik versi Allah gue gajadi disitu, ya gapapa. Itulah salah satu rasa enak ketika kita bener-bener berprasangka baik pada Allah setiap saat, bisa menelan hal-hal pahit dengan perasaan lega.

Oiya, ngomongin Fakultas Keguruan, gue jadi inget, video yang viral beberapa waktu lalu. Salah satu mutual gue di twitter, meretweet sebuah video yang menampilkan seorang guru laki-laki honorer muda yang mengeluh akan gajinya. Berapa yaa 100K atau berapa gitu, pokoknya kalau gue asumsikan, minus juga sih buat hidup sehari-hari. Nah, let me share to yaa, sedikit, tentang guru honorer ini. Menurut gue sih, kesejahteraan guru itu adalah nomor wahid! Gabisa ditawar! Kenapa gue ngomong begini? Menurut buka Teach Like Finland (Mengajar Seperti Finlandia) yang gue baca, profesi guru disana itu diisi oleh akademisi terbaik dengan gaji yang menjanjikan pula. Ya, anak muda yg SDMnya bagus yaa siapa yang gamau jadi guru di Finland.

Gini deh, misal, para guru buat mencukupi kehidupan sehari-hari aja susah, mikir tagihan listrik, pulsa, air, eh di sisi lain mereka dituntut untuk bisa mengikuti reorientasi akselerasi pembelajaran berbasis teknologi. Ya punten, kalau masih terbebani hal personal aja bikin pusing, ini guru-guru apalagi yang sepuh, sudah tua, diminta untuk menguasai teknologi. Hadeh. Pepatah Jawa yang bilang rego nggawa rupa, harga membawa wujud/rupa, kalau mau mendapatkan hal yang berkualitas yaa setidaknya pemerintah menganggarkan dana yang lebih serius untuk kesejahteraan guru ini. Guru adalah kunci kemajuan pendidikan. Inget ketika Jepang setelah di bom apa yang dicari? Oppa gangnam style? Nggak! Yang ditanyakan adalah berapa guru yang masih hidup?

Disini, bukannya gue pesimis sih akan sikap guru yang masih tulus mengabdi. Tapi nih yaa, monmaap lagi, sepanjang pengalaman gue wawancara dengan anak Fakultas Keguruan hanya 1 dari 5 orang yang menyatakan ketika lulus benar-benar ingin menjadi guru. But, perlu gue garis bawahi, menjadi guru itu bukanlah ironi seperti yang dikatakan mas-mas honorer di video itu, menjadi guru adalah pilihan mulia yang patut diacungi jempol. Memang, kebanyakan tidak kaya materi tapi inshaallah kaya hati. Mungkin pemikiran ini dirasa naif, tapi gue inget hadist Rasul yang bilang kalau sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Nah, boleh jadi Mbak Mas Guru honorer yang masih kinyis-kinyis ga dapet kenikmatan materi di dunia, tapi semoga kelak di hari akhir, pahalanya berlimpah yah :) gue pernah punya tetangga seorang guru dan sudah meninggal, ketika itu para peserta didiknya banyak yang melayat, ah betapa banyak untaian doa yang didapat karena jasa yang telah diberikan itu. Tapi bukan berarti, pemerintah berpangku tangan dalam menimbang kebijakan terkait kesejahteraan guru honorer. PR banget sih ini.

Udah yaa, malah sampai guru honorer wkwk. Gue berterimakasih pada Uda Fuadi dan tim yang mau berbagi banyak manis pahit dalam dunia beasiswa, yang beberapanya membuat gue berpikir, oh gitu yaa, baru tahu gue. Di akhir tulisan ini, gue mau mengutip kalimat Uda Fuadi dalam kelas beasiswa ini. “Pepatah Arab mengatakan, iza shadaqal azhmu wadaha sabil. Jika  sudah jelas keinginan, semoga nanti jalan beasiswa akan makin terang,” ujar Uda Fuadi. So, mulai sekarang segera tentukan detail mimpimu, kalau perlu buat proposal hidup :) tuliskan, minta restu dan doa ortu, eksekusi, cari teman/partner yang mendukung, semoga Allah mengabulkan agar menjadi nyata! Ganbatte kudasai— dan untuk Bang Rendy, sekali lagi terimakasih! Semoga diterima yaa dalam forum bea cukai sedunia yang hendak diikuti, eh apa ya namanya, pokoknya yang itu lah, ehe. Ohya, kenapa gue kasih judul dari Surakarta hingga Edinburgh? Gapapa, bisa jadi sekarang lo kuliah di suatu tempat, Surakarta katakan, terus udah menginjak Edinburgh kayak gue, iya gue, tapi lewat film Ayat-Ayat Cinta 2, hiya hiya wkwk #peace. Walau belum nyata, jelajahi dulu secara daring, bisa via film, video atau baca-baca artikel yang berlatar disitu. Sekian.

10 Komentar untuk "Dari Surakarta hingga Edinburgh"

  1. Wah selamat ya mbak sudah dapat tiga beasiswa, padahal dapatnya sambil rebahan ya. Ternyata pandemi Corona ada berkahnya ya.

    Soal kesejahteraan guru memang masih jadi problem, aku punya teman guru yang bahkan gajinya cuma 1.5 juta saja sebulan. Untung suaminya bekerja di pabrik jadinya masih bisa mencukupi. Coba kalo cuma sejuta setengah itu suaminya ngga kerja, gimana mencukupi kebutuhan sehari-hari?

    BalasHapus
  2. Ga da salahnya bermimpi... Suatu saat wujudkan mimpinya jadi kenyataan,ga ada yg ga mungkin... Semangat 😊💪

    BalasHapus
  3. wahahaa, aku pun menjadi guru honorer 3 tahunan ini. Memang bukan materi yg kadang bikin rasa 'nggak ikhlas' tapi justru konsidi di lapangan yg kadang bikin menggerutu. Kewajiban ASN dengan guru honorer harusnya berbeda, tapi nyatanya? Berat yg honorer dong, apalagi kl di lingkungan sekolah guru2 ASNnya udah berumur yg sulit upgrade ilmu, ujung2 kerjaan ktmu lagi sm honorer. ah ya ngomongin ini memang panjang bgt, tp dilapangan gitu adanya, wkwk

    BalasHapus
  4. Menjadi guru memang pilihan. Tak semua orang, apalagi hanya karena kebutuhan pekerjaan, bisa menikmati menjadi seorang guru.

    BalasHapus
  5. Terkait ingin mencari lingkungan yang mendukung, kira kira Lingkungan itu pengaruh gak sih terhadap perkembangan kitaa, dan apakah kalau kita masuk kedalam lingkungan yang baru tapi ternyata lingkungan itu kita rasa tidak sejalan dengan visi misi yang kita jalankan.. Apakah yang salah itu lingkungannya atau gimana hmmm.. Padahal kan lingkungan itu sudah ada lebih dulu, dan kita masuk kesana...

    BalasHapus
  6. hidup itu memang pilihan ya mba hehe. fokus dengan yang dijalankan sekarang.

    BalasHapus
  7. Wah... keren Kak, sukses ya... Selamat sudah mendapatkan tiga beasiswa, meski sekarang sedang ada di tengah Pandemi Covid-19.

    Oh iya Kak, terkait Guru Honorer, aku setuju sekali. Aku sendiri lulusan pendidikan dan nggak tertarik jadi guru karena pengabdiannya butuh ketulusan dan keikhlasan ekstra.

    Btw, Uda Fuadi keren memang. Sekali lagi selamat dan semoga beasiswanya bermanfaat, ditunggu sharing-sharing berikutnya ya Kak.

    BalasHapus
  8. wahhhhh tahniahhhhh!!!! selamat berjaya ya!

    BalasHapus
  9. wow mba zalfa keren nih, selamat ya.. ternyata mba zalfa berprestasi di bidang jurnalis. semoga mimpi2 yang lain juga bisa terwujud

    BalasHapus
  10. Keren mba, 3 beasiswa. ditunggu cerita2 tentang Edinburg nantinya.
    Barakallah ya

    BalasHapus

Silahkan memberikan saran dan masukan :)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel