Seharusnya, Tidak Ada Luka Di Antara Kita
dokumen pribadi |
Malam
ini, gerimis menjelma hujan deras. Langit gelap dan udara yang dingin, membuat
siapa saja lebih senang menghabiskan waktu di kamar bersama secangkir teh
panas. Bisa juga, menghabiskan waktu bersama buku favorit dan minuman manis
kesukaannya.
Aku
sendiri masih berkutat dengan beberapa tenggat waktu. Lelah terasa namun puas
luar biasa saat semua selesai sebelum tenggat pengumpulan. Namun, rasa puasku
karena tugas yang usai hanya bertahan sebentar. Kulihat, layar di ponsel
berkedip, menandakan ada pesan baru yang masuk.
Oh
Tuhan, apakah ada berita masuk yang perlu kuedit lagi? Atau ucapan sales panci yang
menawarkan dagangannya? Aku membaca sebuah nama, mataku terbelalak, ada sebuah
cerita dari seorang gadis yang akhir-akhir ini meraup duka.
Katanya,
ia merasa rapuh. Begitu ringkih diombang-ambingkan realitas kehidupan. Ditambah
proses-proses menuju kedewasaan yang melelahkan. Matanya sembab akhir-akhir
ini. Seperti ada yang kosong dalam hati.
Tunggu,
ia juga sempat kehilangan arah. Bumi mana yang ia pijak? Ingatkah ia ke mana
harus melangkah untuk pulang? Seolah-olah, jalan bercabang menjadi ribuan. Membuat
langkahnya pendek, penuh keraguan, dan banyak tekanan dari berbagai arah. Ia bingung
dan kelelahan.
Begitu
sampai di jalan pulang, seseorang menghambat langkahnya. Ia menawarkan
kehangatan dan letupan kembang api yang bisa membuat siapapun terpesona. Belum cukup
dihantam realitas kehidupan, gadis itu semakin bingung dengan sosok yang
tiba-tiba datang tanpa permisi, namun kali ini dengan tujuan yang jelas. Tapi,
bukannya menjelma bahagia, ia malah semakin lelah dan bingung.
Akhirnya,
ia mati rasa dan kehilangan motivasi.
Untuk
menjalani hidup, ia selalu menguatkan diri. Berusaha susah payah untuk bangkit
kembali. Walau dengan tertatih, bahkan merangkak, ia terus mencoba. Mencari udara
segar untuk membuat semangat hidupnya kembali.
Dulu
sinarnya terang namun sempat redup, bahkan mati. Seperti lilin yang hampir
habis masanya, ia pun demikian. Namun, sekali lagi, gadis ini bukan lilin dan
ia memutuskan untuk menghidupkan kembali cahaya yang redup itu.
Dengan
susah payah, ia bangkit dari segala derita. Ia sadar, bahwa proses menjadi orang
dewasa memang tidak mudah dan melelahkan. Ini bukan lagi tentang menangis karena
ayahmu tidak membelikan mainan favorit, namun bagaimana kamu bisa lebih
bersabar menghadapi apa saja yang datang. Ini tentang bagaimana kamu bisa lebih
tangguh diterjang tsunami kehidupan, juga bagaimana kamu bisa setegar karang
kala dihantam ombak? Ia pun memutuskan untuk berani.
Gadis
itu, memang sempat tak tahu arah jalan pulang, namun, dibukanya kembali
kenangan album pada sebuah box yang ia simpan. Di dalamnya, terdapat beberapa
surat dari sahabat maupun teman-temannya. Ia baca surat itu satu per satu. Ungkapan
semangat, kekaguman, dan motivasi, ia baca dari goresan-goresan mungil itu. Matanya
berair karena haru. Hatinya yang semula mendung, kini kian cerah sekaligus
diliputi rasa haru. Bagian dirinya yang hilang, perlahan kembali menjadi utuh.
Ketika
orang baru datang, ia memang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, tidak
bisa berpikir jernih, dan cenderung bersikap tergesa. Ia pun menepi, tidak mau
terlibat lebih dalam dengan janji-janji yang terdengar semanis matcha latte
kesukaannya. Ia meminta maaf pada orang baik yang datang itu, ia ingin sembuh
terlebih dahulu dan menjadi sosok yang terlihat seperti rembulan tenggelam di
wajahnya. Walau berat dengan keputusan ini, tapi kukira, gadis itu telah
memutuskan dengan tepat. Ia kembali menari dalam penantian panjang yang
dirajutnya dengan penuh kepercayaan baik pada Tuhan.
Pada
akhirnya, aku bisa melihat, sekarang gadis itu menjadi sosok yang lebih kuat dari
sebelumnya. Seperti hujan bulan Juni Eyang Sapardi, aku melihat ketabahan dari
sikapnya. Walau belum arif, namun ia hebat sudah bisa bertahan sejauh ini. Hatinya
memang kacau, pikirannya buntu, batinnya lelah, dan fisiknya pun remuk tempo
hari, namun secara perlahan namun pasti, kilau cahaya hidupnya mulai menyala.
Kulihat,
kini ia semakin pandai menentukan mana yang harus dimasukkan ke hati atau
tidak. Baginya, teman-teman baik yang datang, entah yang lama atau baru, akan
ia sebut dalam doanya dan pantas dipertahankan. Ia juga mendoakan kebaikan bagi
mereka. Namun, kini gadis itu juga pandai mengunci hati dari sosok-sosok yang
hanya ingin singgah sejenak, ia sudah cukup lelah dengan banyak hal, tidak
sempat mengurus drama kecil tentang urusan singgah sejenak. Cukup baginya tidak
banyak tingkah dan berusaha menggapai kata “pantas” agar Tuhan tidak berlama-lama
membiarkannya berjuang dalam urusan hati.
Teruntuk
yang menginspirasi tulisan ini, aku berdoa, semoga perasaanmu akan jauh lebih
baik setelah semua yang kamu lalui. Memang, dalam hidup tidak selamanya
kemudahan menghampiri dan kamu harus sadar, tidak semua penduduk bumi itu orang
baik. Bersiaplah dengan segala kemungkinan. Tegaslah pada sesuatu yang
mengganggu ketenangan batinmu. Sudah cukup kamu berkorban lebih. Memang,
menjadi orang baik itu suatu keharusan, namun kalau masih ada yang tidak megapresiasi?
Ya, sudah tidak apa-apa. Semoga Tuhan yang membalasanya.
Tapi
ingat.. Kamu harus berani memotong hubungan dengan orang-orang yang kurang
pandai menyadari sinarmu itu. Masih banyak yang membutuhkan cahaya terang itu. Tolong,
jangan redup dulu yaa. Mari bersinar kembali. Aku tahu ini sulit. Tapi, kamu
berjanji akan mencoba setabah hujan bulan Juni bukan?
Peluk
jauh penuh sayang,
Zalfaa
Tulisannya related banget, memang proses menjadi orang dewasa sangat sulit apalagi untuk wanita mandiri. Harus kuat-kuat, dan kita harus mencintai diri sendiri.
BalasHapus