On Zalfaa's Mind: Menemukan Makna

“Life is full of sweet mistakes and love’s an honest one to make” –John Meyer.

dokumen pribadi

Entah mengapa, rasanya malam ini terselip perasaan sendu, haru, dan teduh dalam waktu yang bersamaan. Mata berkaca-kaca dengan coklat panas yang tersedia di samping laptop, hujan rintik yang sepertinya masih turun di luar sana, entah, suasana seperti sedang dalam berada slow motion. Aku menulis ini karena momen yang baru saja terjadi sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja, aku ingin mengabadikannya dalam sebuah tulisan.

Aku ingin menceritakan dua sosok yang belakangan sepertinya aku sadar bahwa sifatku didominasi dan menurun dari kedua sosok ini. Siapa mereka? Adalah ayah dan mbah kakung. Baiklah, akan kuceritakan sekelumit kisah yang entah mengapa terlihat sederhana namun bagiku sangat menghangatkan hati.

Beberapa hari yang lalu, tepat menjelang tengah malam, udara dingin yang selalu membuat orang betah membenamkan diri dalam selimut, tentu menjadi waktu yang sempurna untuk mengistirahatkan pikiran dan badan setelah aktivitas harian. Namun, hari itu berbeda. Ponsel bergetar, ada yang memanggil di atas pukul 10 malam. Huft, siapa gerangan. Lebih tepatnya, ayahku yang menerima panggilan itu.

Saat ini ayahku masih tergabung dalam Dewan Takmir Masjid Musala di dekat rumah. Sudah puluhan tahun ayah diamanahi ini, hmm mungkin sedari aku belum lahir kali ya. Entahlah, aku tidak pernah bertanya juga sejak kapan ayah menjadi bendahara dalam kepengurusan takmir itu, yang terlintas dalam ingatanku, kalau tidak salah saat aku TK, ayah sudah menjadi bendahara di situ.

Ya, ternyata ada jamaah yang menelepon. Katanya sumur, maksudku di sini kamu harus menyalakan sanyu, apa ya bahasa Indonesianya, intinya sejenis mesin untuk mengalirkan air agar ketika keran dihidupkan untuk berwudu, terdapat air mengalir. Jamaah tadi melaporkan kalau sanyu berbunyi terus, walau sudah berusaha dimatikan, tetap saja menyala dan saat itu juga ayahku diminta untuk pergi ke musala.

Aku membayangkan, jika ayah tidak memiliki jiwa melayani, sudah pasti akan mengutarakan ribuan alasan dan memilih untuk melanjutkan tidurnya. Tapi tidak, ternyata ayah mengiyakan permintaan jamaah itu dan langsung menuju musala. Di situ.. hatiku merasa hangat sekaligus bertambah rasa kagumku pada ayah. Semoga Allah merahmatimu selalu, Yah.

Tak sampai di situ saja, ayahku sosok yang romantis, yang dibuktikan dengan love language atau bahasa cintanya adalah act of service, lebih ke tindakan langsung. Aku ingat ketika makan bersama, mama sangat suka semacam ikan teri kecil yang ada di sayur bernama botok, aku nggak tau ya di daerah kalian namanya apa. Singkat cerita, ayahku menyisihkan ikan teri kecil itu dan diberikan pada mama. Hmmm, hati mana yang tidak meleleh melihat keuwuan di depan mata.

Oya, sepertinya sifat pendiamku ini juga turunan ayah, tapi ayah versi lebih extrovert-nya sih sepertinya, hahaha. Lebih mudah nimbrung dan terbuka, berbeda denganku. Aku bisa saja menjadi sangat ramai dalam suatu kelompok dan seperti tidak ada dinding dalam diriku, salah satu contohnya seperti ketika aku menghabiskan waktu bersama para jurnalis dan editor yang bekerja untuk ICT fakultas. Hai Aul, Rosa, Nanda, Ibun, dan Zaqi! Aku merasa bersyukur dipertemukan kalian! Bersama mereka, aku tidak maloe-maloe kucing dan bisa merasa sangat nyaman dan hangat. Berbeda ketika dalam suatu kelompok baru, aku perlu beradaptasi dengan keras, lebih pendiam, senang mengamati, dan lebih mendengarkan.

Tak apa, aku tidak menganggap ini sebagai sebuah kekurangan seorang introvert, bukankah di dunia yang banyak orang berlomba-lomba untuk berbicara, butuh sosok yang mendengar? Dan ya, aku tidak masalah dengan sikap pendiamku di beberapa tempat ini, urusan penilaian orang lain, seperti yang dibilang Om Henry Manampiring dalam bukunya yang berjudul Filosofi Teras, terdapat sebuah filsafat stoikisme, kita hanya bisa berusaha penuh dan terbaik dalam kehidupan, di samping itu ada hal-hal di luar kendali kita, seperti apa yang dipikirkan orang lain. Dan aku nggak peduli amat terhadap penilaian orang lain terhadapku, selama nggak merugikan orang lain dan Tuhanku mengizinkan, kenapa harus merasa bersalah dan lewah berpikir (overthinking)?

Ehm.. itu tentang ayahku ya yang dua tindakannya belakangan sukses membuatku kagum dan terenyuh. Lalu, aku akan menceritakan tentang mbah kakung. Hmm, beliau tuh mirip banget sama diriku yang tipikal “males cari masalah”. Ya, tipikal orang yang menghindari konflik daripada terlibat argument panas dengan seseorang atau kelompok. Tentu ada poin plus dan minusnya. Sejauh ini sih aku malah merasa damai.

Contohnya begini, ada orang lain yang julid, menjelek-jelekkan aku, yah bodo amat, itu urusan dia dengan Tuhan. Aku tidak berminat sedikit pun untuk membalas perkataan jeleknya itu. Lemah teles, Gusti Allah sing bales. Aku belajar itu dari mbah kakung, yang kalau diartikan “tanah basah, Gusti Allah yang membalas”.

Terus, mbah kakung juga tipikal yang nggak suka merepotkan orang lain. Seperti kemarin, aku main ke rumah mbah kakung. Alhamdulillah, mbah kakung dan mbah uti masih diberi kesempatan berbuat kebaikan di bumi. Saat itu, pakdeku yang tinggal di Kepulauan Riau menelepon. Kalau tidak salah, pakde sempat menawarkan sesuatu pada mbah uti, mbah kakung yang berada tak jauh dari mbah uti bilang nggak usah, nanti merepotkan. Padahal haqqul yakin, pasti pakde juga tidak merasa direpotkan karena ia berkecukupan.

Persis seperti diriku. Seminim mungkin aku nggak mau merepotkan orang lain, hmm nggak enakan juga orangnya. Mungkin sifat ini adalah turunan mbah kakung. Tapi, aku juga tidak menolak kalau orang itu terlihat amat tulus ketika mau membantuku. Terasa.. ikhlas. Terima kasih ya untuk kalian yang menemani prosesku sejauh ini. Menggegam erat tanganku agar terus menjaga cahaya yang ada.

Oya, aku jadi ingat kejadian tadi sore, aku bertemu orang yang sama-sama tidak enakan di jalan! Hahaha, kalau diingat-ingat agak ngakak ketawa lucu gimana gitu. Tadi ada koordinasi persiapan Future Leader Challenge (FLC) Baktinusa di Asrama Haji Donohudan. Hari itu sore dan hujan deras. Aku naik motor ke lokasi sehingga harus mengenakan jas hujan saat pulang ke rumah. Di tengah jalan, tepatnya di depan Kompleks Angkatan Udara RI (AURI), ada mobil, aku lupa warna hitam atau putih ya, mobil itu hendak menyeberang, aku memelankan motorku, ia juga memelankan mobilnya, aku hendak berhenti, berharap mobil tersebut bisa segera menyeberang, eh lha kok dia maju sedikit terus berhenti lagi. Lah. Aku maju perlahan dan berharap ia segera melajukan mobilnya, eh maju pelan terus berhenti lagi. Ya ampun gemash, hahaha. Aku pun menghentikan motor dan syukurlah ia paham jika aku mempersilakannya duluan. Begitulah kalau orang sama-sama tidak enakan bertemu di jalan.

Begitulah sekelumit cerita ayah dan mbah kakung, sosok pria penyayang yang lembut hatinya, dari mereka aku belajar mengenai kekuatan cinta pada hal baik yang menggerakkan untuk bersikap peduli. Mungkin perasaan gampang tersentuhku juga berasal dari keduanya. Sekali lagi, walau aku terlihat tenang dan pendiam di beberapa tempat, aku juga bisa menjadi sosok yang sangat terbuka jika sudah menemukan rasa nyaman dan hangat. Aku jadi ingat sebuah kisah, hari itu aku menemui seorang narasumber untuk diangkat kisah inspiratifnya. Mbak ini, cantik betul, teduh wajahnya, berhijab panjang, dan yaa sangat inspiratif kisahnya. Kami janjian wawancara di kantor Humas, setelah wawancara usai, aku mengantarnya ke parkiran. Hahaha, baru kali ini aku mengantarkan narsum sampai ke parkiran. Saat di parkiran, entah mengapa aku merasakan dorongan yang kuat untuk bercerita masalah yang aku hadapi kepada mbak yang meneduhkan ini. Dia sangat welcome dan mengajakku duduk bersama. Di situ awalnya aku bisa menguasai diri dan hingga di suatu titik, aku menangis. Iya, menangis di depan orang asing yang baru saja aku temui hari itu juga!

Ah, mungkin itu definisi nyaman dan sefrekuensi kali ya. Aku merasa seperti menjadi adik yang diperhatikan, disayangi, dan diayomi oleh sosok mbak itu dan cara dia menasehatiku.. duh hatiku hangat kalau mengingatnya. Terima kasih ya, Mba Pipit! Oya, Mba Pipit ini juga berhasil menjadi Pasangan Inspiratif Kemenpora bersama suaminya Mas Burhan. Memang unik, awal wawancara masih single, eh wawancara kedua udah bersuami dan berprestasi lagi! Barakallahu fiikum Mba Pipit dan Mas Burhan.

Wah, sepertinya tulisan ini agak panjang ya. Iya sih, memang iya sepertinya. Lama aku tidak menulis dan membuat story. I’m okay sih, masih bisa meng-handle apapun hidup yang sedang dijalani, insyaallah. Wkwkwk, jadi ya gini, sekalinya menulis panjang.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, aku mau menyinggung kutipan yang aku taruh di paling atas. Yap, kutipan lirik lagu John Meyer yang menurutku dalam maknanya jika dihayati secara penuh. Hidup penuh dengan kesalahan yang manis dan cinta itu terbuat dari kejujuran. Kesalahan bisa menjadi manis jika kita belajar dari situ, memetik hikmah untuk dijadikan pelajaran hidup berharga dan adanya cinta, ia adalah sesuatu yang murni, berasal dari kejujuran hati terdalam. Hidup lebih baik dengan menaruh cinta di dalamnya. Aku tidak hanya berbicara cinta kepada pasangan yang amat mainstream didengungkan media dan bacaan roman picisan. Maksudku, cinta itu luas. Cinta kepada Tuhan, keluarga, sahabat baik yang tulus, pasangan, orang-orang yang mau membantu di kala sulit. Tidak hanya itu mencintai segala kebahagiaan maupun kesengsaraan yang sedang menimpa hidup. Mencintai sesuatu yang terlihat menyakitkan, namun sejatinya mendewasakan. Mencintai takdir. Mencintai pekerjaan yang dilakukan. Daaannn masih banyak lainnya.

Berterima kasihlah apabila masih ada yang peduli, mencintai, menunjukkan rasa sayang, masih mau membersamai walau tahu baik burukmu, ah.. mataku rasa berkaca. Berkelebat beberapa sosok yang mewarnai hidupku. Ehm, tidak harus manusia, ingat masih ada Allah yang selalu peduli dan mengerti betul apa yang terbaik untuk hamba-Nya.

Lanjut.. disclaimer, paragraf di bawah untuk beberapa sosok yang baik dan apik yang kukenal.

Khusus paragraf ini, aku tujukan pada sahabat baikku di Jawa Timur yang hasil desainnya selalu memanjakan mata. Aku tidak tau apakah ada ungkapan dalam bahasa Indonesia selain terima kasih yang tingkatannya menyatakan rasa syukur yang amat mendalam. Terima kasih amat banyak yaa, yang selalu memanggilku Zals (ehm sepertinya singkatan dari Zalfaa sayang ya :p) atau anak baik, yang selalu mau menemani di kala bahagia maupun masa terburukku, yang rela menempuh perjalanan jauh untuk memastikan adiknya ini baik-baik saja. Mudah-mudahan Allah selalu memberkahi hidupmu ya, Mba Els.

Lalu, untuk Teteh yang berada di Bogor, yang akhir-akhir ini menjalin kembali silaturahmi, bahkan ketika National Mission kemarin, sempat-sempatnya di tengah kesibukan bekerja mengunjungiku. Kenapa kamu so sweet sekali, Teh. Baik-baik di sana yaa. Tak beda jauh juga untuk Ili yang sebenarnya lebih populer dipanggil Ersya, wkwkwk. Il, lama tak jumpa, kamu adalah sosok yang amat baikkk, yang selalu mendukung ambisi-ambisiku kala mahasiswa baru sampai sekarang. Seperti Jogja, kota tempat tinggalmu yang istimewa, kamu pun begitu, Il. Teteh Lany dan Ili adalah dua sahabatku yang kami menamai diri menjadi Sahibul Menara. Ah rindu momen-momen bisa bertiga lagi. Semoga Allah selalu melindungi :’)

Sahabat baikku juga yang dari Bogor, Lail! Yang kemarin mengabariku kabar bahagia, ah aku turut senang dan bersyukur atas kabar bahagia itu. Aku.. hmm gimana ya mendefinisikannya. Aku merasa Allah sangat baik padaku dengan menghadirkan orang sebaik, selembut, dan hatinya sejernih Lail. Aku ingat saat kamu bilang “Zal kalau ada apa-apa jangan sungkan buat cerita langsung”. Nyes, hatiku sejuk. Seperti ada yang selalu siap mendengar kala aku butuh tempat bercerita. Sayang Lail banyak-banyak.

Hmm yang ini iya nggak ya. Iya aja deh, untuk teman satu pembimbing akademik, sesama anaknya Bu Tyas. Terima kasih yaa akhir-akhir ini sering sekali muncul tanpa diundang tapi tujuannya baik. Ting ting, notif berbunyi, namamu muncul, menanyakan sebuah proses yang memang harus kuselesaikan. Hadeh. Walau kadang kaget, tapi jadi terpacu untuk segera menyelesaikan. Matur nuwun yo.

Terakhir.. untuk yang sering bilang “Segera bangkit dan bersinar ya, Zal”, saat ada liputan malam memastikan bahwa diriku baik-baik saja, sabar dalam menghadapi hal remeh maupun besar, yang bilang kalau butuh bantuan berkabar aja (nggak cuma ngomong tapi emang dibuktikan), mau terus menumbuhkan sikap belajar, I’m grateful for each day.

Tentu masih banyak sosok lain yang tidak bisa kutiliskan satu per satu di atas. Aku hanya menuliskan sosok-sosok yang akhir-akhir ini sangat keep in touch denganku, yang membuktikan rasa pedulinya dengan baik dan nyata. Aku sadar kalau dalam berhubungan entah hubungan apapun itu, harus dua arah. Nggak bisa cuma aku doang yang effort, atau dia/mereka aja yang effort. Kedua belah pihak harus sama-sama berjuang dalam merawat hubungan baik itu, menyiraminya dengan subur sehingga tumbuh bunga-bunga kebaikan untuk keduanya dan yaa, merekalah yang melakukan dengan baik padaku akhir-akhir ini.

Udah segini dulu yaa. Ah, sangat lega dan senang bisa kembali menulis. Oya, sebentar lagi ada FLC Baktinusa, mohon doa dari teman-teman ya agar acara bisa berjalan dengan lancar. Kudoakan juga semoga kamu selalu diliputi kedamaian dan orang-orang baik. Terakhir, aku mau bilang kalau sebuah renjana hidup tidak akan menjadi semenjana ketika dijalani dengan orang-orang yang tepat :). Selamat malam.

1 Komentar untuk "On Zalfaa's Mind: Menemukan Makna"

  1. Dua pria yang memiliki peran penting di kehidupan seorang anak perempuan, enggak Mbak saja kadang saya juga merasa begitu. Dua sosok ini sering saya rindukan di waktu tertentu apalagi saat merenung. Hujan dan kopi mendukung banget buat menulis memang, yang baca ikut tersentuh sama tulisan ini. Terima kasih sharingnya!

    BalasHapus

Silahkan memberikan saran dan masukan :)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel