Suatu Tamparan Hari Itu
dokumen pribadi |
Rintik hujan menembus batas pikiran. Mengangkasa hingga lupa antara
ekspektasi dan realita. Meneguk segelas teh hangat yang baru saja dibuat. Kurang
kerjaan apa coba, di tengah malam membuat secangkir teh hangat. Ah, tidak juga,
untuk menghangatkan badan, termasuk hal yang berfaedah.
....menjelang dhuhur
“kamu tidak berhak
seperti itu.” katanya di
sela-sela napas yang tersengal setelah berlari menghindari hujan. Kemeja denim
yang ia kenakan terlihat sedikit basah terkena rintik hujan.
“apa maksudmu?” aku balik bertanya.
Ia hanya diam.
“memangnya apa yang
salah? Memang fakta bukan? Sangat menyebalkan!”
Ia masih diam.
“mimpi apa semalam,
dapat partner seperti kamu! Kalau seperti
ini kapan selesai mendata satu kelurahan. Satu rt saja repot bukan main ditambah sikapmu itu!” menghela napas panjang dan tampak
frustasi. Bayangkan saja, bisa-bisa 1 rt butuh waktu pendataan 3 hari 3 malam
dengan si perfeksionis ini!
Aku yang mengekor di belakangnya terkejut ketika secara tiba-tiba,
ia membalikkan badan dan menatapku lurus, tanpa ekspresi yang bersahabat.
“kamu lupa. Dulu bukannya
pernah update story mengenai salah satu kutipan di buku bumi manusia
yaa? Katamu, itu favoritmu. Omong kosong!”
Aku mengernyitkan dahi. Mencoba mengingat detail yang ia maksud. Seketika,
aku teringat sesuatu. Mulutku persis membentuk huruf o.
“bukankah
kamu sendiri yang bilang bahwa manusia terpelajar harus adil sejak dalam
pikiran. Itu yang kamu bagikan dari karya pamoedya
ananta toer. Namun, hari ini kamu malah dengan mudah menghakimi
orang lain. Kau tau kenapa tadi kang
nurdin ngebut sampai air genangan
di jalan mengenai rok panjangmu? Dia terburu-buru, anaknya sedang sekarat di
puskesmas kecamatan sebelah setelah tertabrak sepulang sekolah! Ingat, sesuatu
yang nampaknya buruk belum tentu memang seperti itu. adil dalam pikiran, adil dalam pikiran!”
Aku tertegun. “oh ya,
dapat info darimana?”
Ia menunjukkan sebuah pesan di grup whatsapp.
kini
aku yang terdiam seribu bahasa.
“sudahlah, manusia memang terkadang khilaf, termasuk saya. Lain kali
pikiranmu harus lebih sehat. Sana segera pesan makanan kesukaanmu, setengah
hari bukanlah waktu yang singkat. Ohya, kali ini biar saya yang bayar, kemarin ada
2 klien yang menghubungi untuk sebuah project. Makannya tidak usah 30x kunyah, mereka sudah menunggu kita.”
Aku hanya menunduk. Orang ini, kalau ngomong ceplas-ceplos tidak
pakai filter,harusnya ia tahu bahwa perempuan itu perasa, tapi bagaimana pun
apa yang ia katakan memang benar. Ya sudah, pedas saja di awal daripada pahit
di akhir. Terima kasih!
surakarta,
8 februari 2020
-tengah malam yang dingin
kemaren di twitter rame jg kutipan ttg berlaku adil sejak dari pikiran. Apa tulisan ini terinpirasi dari sana yah hehe.
BalasHapusBtw emg kadang kita suka mengambil kesimpulan dari paradigma kita sendiri. Berlaku adil or fair emg susah buat manusia
Aku juga suka kutipannya. Tapi, tentang keadilan, manusia berhak berusaha bersikap adil, tapi semua kembali lagi kan? :)
BalasHapusSemoga kita semua bisa berusaha berlaku adil ya kak. Semangat.
Ceritanya keren, menggebu-gebu.