How I Build Inner Peace in 2021
dari orang baik, terima kasih! |
Bulan
awal di tahun baru, postingan Instagram, story WA, tweet teman, satu dua
jawaban di Quora, hampir semua tidak lepas dari kata resolusi dan tahun baru. Yea,
seenggaknya, kalau yang dibagikan adalah hal positif, hal tersebut akan
nge-trigger orang lain untuk berbuat hal yang positif. Keep going yak buat
share hal-hal baik di sosmed. Di dunia yang penuh konten nggak jelas ini, we
need someone like you.
But
guys, gue nggak bakal bahas resolusi mau pun rewind tahun 2020 lalu. Banyak episode
kehidupan yang kayak roller coaster yang gue alami. Hmm, tapi detailnya biar
gue dan orang-orang terdekat aja yang tau, ehe. Nah, awal postingan d u a r i b
u d u a p u l u h s a t u ini, gue mau mengucapkan.. TERIMA KASIH.
Iya,
terima kasih. Buat siapa?
For
you, who put my name on the top of your list.
Maksudnya
gimana tuh Zal? Siapa?
Ceritanya
gais, saat gue berkontemplasi, cielah nggaya amat, haha.. intinya, kayak
sok-sokan merenung gitu lah, gue menemukan sebuah gagasan baru. Iya, sebuah
pemahaman yang membuat hati menjadi lega dan nggak gampang terdistract dengan hal-hal
toxic. Apa itu?
Gini..
pernah nggak sih lo nge-chat orang di WhatsApp atau via media mana pun itu. Terus,
dia balesnya 5 jam kemudian atau sepekan kemudian :’) entah ditinggal ke puncak
Himalaya dulu atau mendaki gunung Sahara, entah, gue nggak ngerti haha. Perasaan
lo gimana sih?
Jujur,
dulunya, gue yang berkecimpung dalam dunia Public Relation, yang kalau respon
tuh dituntut buat bisa gercep dan kalau ada orang yang gue WhatsApp balesnya
lama bangeet, bahkan bisa bikin story tapi nggak bales chat, rasanya hmmm,
hadeh.. nano nano gitu haha..
Tapi,
when 2000’s bae this year turning into 21, gue nggak boleh berpikir
kekanak-kanakan lagi. Sekarang, misal ada yang bales chat lama, pikiran gue
menjadi berubah dan dari analisa gue brati ada dua kemungkinan. Apakah 2
kemungkinan itu?
Pertama,
dia sibuk. Ini beda loh ya sama sok sibuk. Karena gue pernah ada di posisi ini,
yang sibuk, yang nganggurin banyak chat dari pagi sampai malem, tepatnya Maret
lalu, saat UNS menggelar Dies Natalies, ohya saat itu pandemi belum begitu
melunjak kayak sekarang, jadi masih ada beberapa acara. Pas bulan Maret itu,
nggak cuma 1 2 hari gue slow respon. Karena ada beberapa event yang membuat
mobilitas gue begitu tinggi saat itu. Jadi, ya gitu, gue bales chatnya lama.
Makasih yaa udah mau dengan sabar menunggu balesan chat gue saat itu.
Kedua,
itu berarti.. orang tersebut nggak memprioritaskan gue. Iya, setiap orang di
dunia kan punya prioritas masing-masing. Gue sendiri melihat, bahwa interaksi manusia
tuh ada yang deep circle, ada yang biasa aja. Nah, kalau kita udah masuk ke
dalam deep circle seseorang, tanpa harus diminta, mereka akan memprioritaskan
kita. Entah, sesederhana fast respon ketika chat, meluangkan waktu buat ketemu
dan ngobrol bareng, memerhatikan hal kecil yang menjadi favorit gue, yang
ngabarin kalau bakal ada webinar kece, yang sabar ngajarin statistic (inget statistic
rasanya hiiih kayak merinding), juga bahkan sereceh ngingetin absen (ini
bermanfaat banget buat gue yang akhir tahun lalu ada beberapa kegiatan), de el
el. Kalau seseorang nggak memprioritaskan kita, yaudah nggak papa. Kita kan
nggak bisa memaksakan sudut pandang setiap orang untuk selalu sepakat atau
sefrekuensi dengan kita.
Ngomongin
tentang hal prioritas-memprioritaskan dalam sebuah interaksi nih yaa. Gue keinget
sebuah hadist, bentar.. browsing dulu karena gue redaksi tepatnya nggak hafal..
nah, ketemu..
“Ruh-ruh
itu seperti pasukan yang dihimpun dalam kesatuan-kesatuan. Yang saling mengenal
diantara mereka akan mudah saling tertaut. Yang saling merasa asing diantara
mereka akan mudah saling berselisih.” (HR Muslim)
Dari
hadist itu, kadang kita ngerasa nggak sih kalau temen-temen deket kita tuh sifatnya
nggak jauh beda sama kita? Misal, lo termasuk orang yang suka ikut kegiatan sosial,
kayak jadi relawan atau berbagi suatu hal di hari Jumat, cepat atau lambat lo
bakal menemukan orang-orang yang “sama” kayak lo. Atau kalau lo suka sama
seorang tokoh, eh dia juga suka sama tuh tokoh, bisa gue jamin percakapan akan
berjalan dengan lancar tanpa krik krik sama sekali. Atau, lo tuh orangnya
berhati lembut dan senang dengan kebaikan, pasti lo akan nyaman dan hangat
kalau bertemu dengan orang yang kalem dan nggak aneh-aneh tingkahnya.
Get
the point?
Oke
lanjut, hal di atas juga serupa dengan perkataan seorang tokoh, yang menjadi
salah satu orang favorit versi gue yakni Eyang Habibie, “Mau ganteng atau
tidak, kalau hatinya tidak satu frekuensi, bagaimana?” mm, dalam konteks ini
mungkin Eyang Habibie membicarakan sebuah kisah hubungan roman yaa tapi menurut
gue, bisa juga dalam konteks berinteraksi sama orang lain. Kalau nggak
sekfrekuensi tuh gue banyak diemnya *ok sisi introvert gue keluar.. haha. Persamaan
frekuensi tuh bakal membuat komunikasi jadi lancar dan pesan yang disampaikan
bisa diterima dengan baik. Kalau nggak sefrekuensi yaa bakal kresek-kresek,
hadeh.
Bahkan
di sebuah video edukatif yang gue tonton di YouTube, mengatakan teori yang
berlawanan dengan apa yang kebanyakan society katakan saat ini. Kan banyak nih
orang-orang yang bilang kalau “eh lo kan introvert yaa, cari lah sana yang
ekstrovert biar hidup lo berwarna.” Nah ternyata gais dalam video yang
pengelolanya adalah para sarjana psikolog ini bilang kalau hal itu nggak
sepenuhnya benar. Bisa jadi, seorang introvert akan mudah merasa cocok dengan yang
sesama introvert. Begitu pula ekstrovert. Yah, gue sependapat sih. Gue kasih
contoh gini, seorang introvert tuh kalau nggak ada alasan yang jelas buat
keluar rumah, dia bakal memilih ndekem di rumah atau di kamar, lalu
melakukan hal-hal yang ia suka, kayak baca buku, nonton film, documenter, atau apalah
itu. Nah, kalau si introvert ini bakal match sama ekstrovert yang energinya
didapatkan dari luar, biasanya sih suka keluar rumah yaa.. bayangkan, betapa
mumetnya kalau dalam sebuah hubungan, yang satu menganggap kenyamanan adalah di
rumah, yang satu kalau keluar dan bertemu banyak orang.
Dan pas nulis ini.. gue jadi membayangkan wajah temen-temen deket gue, orang-orang yang berlaku baik ke gue.. Iya sih, kita ternyata punya kemiripan entah dari karakter, prinsip, sudut pandang, mau pun bacaan. Pasti ada lah the same thing that connect us. Gue mau bilang ke temen-temen yang udah baik selama ini.. terima kasih banyak yaa! Dunia gue menjadi lebih baik karena Allah hadirkan kalian ke dalam hidup gue. Gue emang jarang posting kalau kita meet up atau ngobrol, bukan karena nggak sayang tapi emang beginilah gue haha, palingan sesekali. Dan gue nggak bisa sebutin nama kalian satu per satu, karena akan memakan halaman, tapi kalau kamu baca ini.. iya, kalau kamu merasa salah satunya.. tetaplah menjadi orang baik yang gue kenal yaa :’) yang mau mendengar tanpa menghakimi dan selalu support gue dalam melakukan hal baik. Serius, kok nulis gini aja, mata gue berkaca-kaca yaa.
Gue inget bener, semenjak SMA gue udah berdoa yang
intinya minta sama Allah buat dipertemukan sahabat yang salihah, yang memahami
gue, dan nggak pernah bosen dalam mengajak kebaikan.. dan Allah hadirkan ituuu
pas gue kuliah :’) bahkan, lebih dari permintaan gue. Sobi gue nih yaa, yang
deket, yang sering jadi korban curhatan panjang nan lebar misal ada sesuatu,
dia tuh mashaallah, belum pernah gue ketemu orang se-innocence dan se-pure dia.
Yang gue call malem-malem, padahal dia jadi leader acara sebuah project yang
harus segera diselesaikan. Inget nggak sih lu, pas gue telpon awalnya hella
melancholic, tapi akhirnya ketawa juga, lol. Dan pas gue nangis lu cuma bilang “udah
nggak papa, ini bukan salahmu kok.” Eh tapi serius, itu calming sih, haha. Heh,
kamu yang kumaksud kalau pas baca ini nggak usah senyum-senyum yaa nanti gula
minder karena kalah manis sama senyummu haha. Barakallahu fiik..
Nggak
cuma itu, temen-temen yang ekstrovert tapi paham akan sikap gue, gue juga mau
bilang makasih yaa udah mau sabar menunggu adaptasi gue yang nggak
sebentar. Gue udah nyaman sama jokes kalian kok yang kadang ngalahin bapack-bapack
di grup keluarga, haha. Thank you thank you.
Menilik
itu semua, kalau sekarang ada yang bales chat lama atau nggak memprioritaskan
gue, yaa nggak papa, mereka punya kesibukan masing-masing juga. Energi positif
ini terlalu sayang kalau dibuat focus dengan hal-hal remeh itu. Mending, gue focus
sama orang yang jelas sayang sama gue.Yang mungkin, juga menyebut nama gue
dalam doanya *uhuk, kode biar didoain, haha. They deserve my attention, love, and
good speech from me. Terutama buat keluarga gue, ayah, mama.. ah, I can’t say
any words betapa sabarnya mereka yang menghadapi gue yang terkadang astaghfirullah
ini, eh ralat, nggak terkadang tapi sering astaghfirullah. Makasih Yah, Ma
untuk cinta tak bersyarat selama ini. Semoga Allah melimpahi keduanya dengan
kebaikan, aamiin.
Jadi,
gimana? Setelah baca ini apakah ada sudut pandang dari lo yang berubah? Yup,
intinya sih life less dramatic, kalau kita pinter memilah mana yang perlu menjadi
prioritas dan mana yang enggak. Iya, masalah akan selalu ada, namanya juga hidup
tapi gue yakin masalah dihadirkan Allah bukan buat menjatuhkan kita sedalam-dalamnya
tapi untuk membentuk pribadi kita menjadi lebih kuat sekaligus sabar, yaa
dianalogikan dengan tes akhir lah. Kan kalau mau lanjut semester depan, pasti
ada tesnya kan? Nah! Dan pas masalah itu hadir, akan keliatan kok mana orang-orang
yang tulus sama kita, yang bakal tetep menguatkan, menggandeng tangan agar tak
kehilangan pegangan, dan menguatkan pundak agar siap menopang hal baik. Akhir kata,
semoga teman-teman yang sudah mau baca sampai akhir sehat selalu. Sampai jumpa..
Masya Allah...suka banget baca tulisan Kak Zalfa...keep goin' in🌷🌷🌷🌷
BalasHapus