Bahagia yang Sesungguhnya

hi! meet her, one of many people that make my world is a better place


“Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku” –Umar bin Khattab

Apa sih bahagia itu? Apakah ketika kita berhasil meraih mimpi yang setinggi langit itu? Menikah dengan jodoh yang good looking? Hidup serba berlimpah dan kaya raya? Hidup seperti itukah yang disebut dengan kebahagiaan?

Well, izinkan gue menuliskan sesuatu yang mungkin nggak relate sama opini kebanyakan orang.

Standar hidup bahagia masing-masing orang itu pasti beda. Tapi, kalau kebahagiaan didefinisikan dengan hal-hal kayak di paragraf pertama doank, kayaknya dangkal banget ya. Iya sih, kalau mimpi kita berhasil tergapai habis itu kita seneng, menjalaninya dengan bahagia tapi percayalah pasti ada titik dimana kita merasa jenuh, bosan, dan bersinggungan dengan masalah setelahnya. Atau menikah dengan yang good looking?

Well, iya sih bagi beberapa orang akan bangga dengan pasangan yang good looking, emm.. tapi yakin kalau fisik akan bertahan lama? Palingan pas 40 ke atas sudah mulai keriput, rambut memutih, fisik yang dulu dibangga-banggakan kini berubah menjadi sosok yang bungkuk dan keriput, nggak menarik kayak dulu lagi. Atau kaya raya? Yakin harta banyak bisa membawa kebahagiaan? Belum tentu..

Oke, sampai sini gue mau menawarkan sebuah konsep bahagia. Tulisan ini menjadi reminder bagi gue sekarang, besok, lusa, dan seterusnya.

Berawal dari sebuah pemandangan yang cukup membuat hati terharu, sore itu selepas Maghrib, gue lupa yang nyuruh gue buat pergi ke luar nyonya besar atau tuan besar. Intinya, diminta buat beli sesuatu. Gue pun keluar rumah saat itu dan melewati sebuah mushola yang arsitekturnya lumayan kuno. Mengingatkan gue akan masa kecil bersama mbah kakung (kakek) tercinta.

Saat melewati mushola itu, gue melihat orang yang usianya sudah senja, duduk dengan khidmat, membuka lembaran Alquran dan membacanya dengan khusyuk. Deg. Mungkin bagi beberapa orang pemandangan itu biasa aja, tapi gue terharu liatnya. Mbah-mbah lho gais :’) penglihatannya udah nggak tajam, fisiknya udah nggak seprima pas muda dulu tapi masih bisa dan mau membaca Alquran dan pergi ke mushola.

Selain pemandangan di atas, gue habis baca buku yang berjudul So, What’s Wrong About Your Life karya Ardhi Mohamad. Ardhi mengingatkan gue kalau semua hal itu baliknya ke Allah lagi. Kebahagiaan yang kekal yaa di surga. Kesuksesan yang sebenarnya yaa pas udah masuk surga. Segala hal yang berfaedah dan berpahala adalah apa-apa yang diniatkan untuk Allah semata, bukan makhluk.

Sorry to say. Setelah gue pikir-pikir bener juga. Terkadang, ada niat melakukan ini itu buat tujuan duniawi, entah untuk keeksisan semata, biar dikenal orang, atau hal receh lainnya. Padahal, we’re not that shallow. Apa-apa yang dilakukan bukan karena Allah bakal sia-sia nantinya.

Dari sini, gue mengubah definisi bahagia gue. Seperti kutipan Umar bin Khattab pada paragraf pertama “Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku”. Disitu, hati gue jadi ikut adem.

Huum, kita boleh berusaha maksimal buat mendapatkan apa yang kita mau biar bahagia. Tapi, jangan lupa juga kalau udah ada hal-hal yang tertulis di Lauhul Mahfudz, yang udah fix, yang terbaik buat kita.

Huum, kita boleh menikmati bagian di dunia ini. Berusaha untuk memperoleh rezeki yang berlimpah, pekerjaan yang baik atau hal lainnya. Ohya, gue rada kurang suka dengan pemikiran “Ngapain gaji banyak tapi nggak pernah sedekah”. Kenapa sih hobi banget menggabungkan hal buruk dengan hal baik. Coba deh diganti “Coba gaji banyak dan rajin sedekah”. Duhai, beruntung sekali hidupnya. Mengusahakan agar kehidupan dunianya baik untuk sarana menggapai akhirat yang tenteram.

Dan, hidup akan lebih bahagia kalau kita bisa menemukan teman yang sefrekuensi, yang nggak toxic dan ada orientasi ke akhirat. Alhamdulillah, misal temen kita dan kita sendiri masih sama-sama sering membaca 3 Qul ketika menjadi imam salat, ya nggak apa-apa. Asalkan mau berbenah bersama, mengingatkan dalam kebaikan, dan tetap selow dan jajan bersama walau kepala mumet dengan tugas yang seabrek, hold her! Menemukan sahabat baik itu susah, tapi melepaskannya gampang, gitu kata Imam Syafii.

Sampai sini, gue mau menyederhanakan definisi bahagia gue. Lo boleh setuju atau tidak. Bahagia itu adalah ketika amalan kita bisa konsisten setiap harinya. Bahagia itu adalah ketika mampu menyempatkan waktu untuk membaca Alquran dan memaknainya. Bahagia adalah ketika mampu berbagi kebahagiaan dengan yang lain. Bahagia adalah ketika berjuang bersama dengan sahabat yang baik hatinya. Bahagia adalah ketika bisa mengukir senyum di wajah orangtua. Dan kebahagiaan sejati adalah ketika Allah mengizinkan kita masuk ke dalam surga-Nya :’)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal” –QS Al Kahf ayat 107.

Jadi, segera tentukan definisi bahagiamu yaa. Jangan sampai salah definisi :)

3 Komentar untuk "Bahagia yang Sesungguhnya"

  1. subhanalloh.. kaya dapet siraman rohani, dapet pencerahan.. merasa satu pemahaman

    BalasHapus
  2. Masya Allah, bener banget kak zalfa. Makasih tulisannya, jadi dapat tambahan energi lagi.

    BalasHapus
  3. Masya Allah, bener banget kak zalfa. Makasih tulisannya, jadi dapat tambahan energi lagi.

    BalasHapus

Silahkan memberikan saran dan masukan :)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel