Mari Berjanji Untuk Ditepati
dokumen pribadi : sikil |
Hari itu, hari yang cukup padat. Terdapat 3 matkul
dalam satu hari. Belum lagi, presentasi final bersama kawan-kawan dari mancanegara
yang sebentar lagi berakhir. Ohya, jangan lupakan agenda silaturahmi menemui sosok
teduh yang pernah membina organisasi kala SMA yang kuikuti bersama beberapa
teman. Aiya, beruntung hari itu terdapat acara yang cukup mendadak dan singkat di
UNS sehingga di waktu pagi, aku sudah membuat sebuah rilis. Cukup membantu
meringankan diriku dari deretan kesibukan hari itu.
Sore harinya, aku memutuskan ingin menikmati waktu. Entah
membaca buku, menghubungi kawan dekatku dan membahas tweet dari akun komik
favorit kami, atau apapun itu yang membuatku rileks. Biasanya, akhir-akhir ini,
malam hari terdapat pertemuan antara aku dengan teman-teman Prodi Perencanaan
Wilayah Kota dan kawan-kawan dari University College London. Namun, karena kami
sudah memasuki presentasi final, jadilah malam itu tak ada pertemuan sama
sekali dan aku ingin bersantai. Namun.. semua itu tidak terjadi karena..
Ketika itu, aku mengenakan mukena hendak melaksanakan
ibadah Magrib. Ayah baru saja pulang dari mushola dan memutuskan untuk duduk di
depan televisi. Mama saat itu, di kamar sebelah. Baru rakaat pertama, terdengar
dering telepon milik Mama. Ah, mungkin temannya. Diangkatlah oleh Ayah yang
kebetulan dekat dengan ponsel Mama. Awalnya, nada Ayah biasa saja, namun
tiba-tiba berubah menjadi nada suara yang terkejut dan penuh kepanikan.
Aku masih sholat, tapi astaghfirullah, malah tidak fokus
dan cemas perihal apa yang terjadi. Terdengar nada panik pula dari Mama. Usai menuntaskan
3 rakaat, segera saja aku mencari tahu apa yang sedang terjadi.
“Mbah Kakung kecelakaan!”
Seketika, aku lemas selemas-lemasnya. Saat itu,
orangtuaku langsung menuju tempat Mbah Kakung dirawat sementara aku diminta
untuk tinggal di rumah dan memberitahu Mbah Putri apa yang sedang terjadi. Dengan
perasaan gelisah, aku segera memacu motor ke rumah beliau. Kabar buruk bagi
kami saat itu.
Mbah Putri kehilangan kata, aku pun. Kami menangis
dalam diam. Membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Menunggu dengan
cemas bagaimana keadaan Mbah Kakung sekarang. Mendegar kata “kecelakaan” saja
sudah membuatku hampir semaput. Namun, saat itu.. Aku sadar, aku tidak boleh
irasional. Harus ada yang bisa berpikir jernih dalam situasi seperti itu walau
sulit.
Beberapa tetangga berkunjung, menanyakan apa yang
terjadi. Mereka turut cemas mengetahui kabar buruk itu. Pun diriku, aku yang
biasanya tersenyum ketika bertemu orang, baru kali ini menunjukkan wajah datar
tanpa ekspresi. Sungguh, untuk menarik bibir ke samping rasanya sulit sekali.
Hingga adzan Isya terdengar, Mama belum memberi kabar
terbaru. Detik demi detik saat itu, terasa panjang sekali, melelahkan, dan menekan
batin. Saat itu, yang kurasakan adalah kehilangan dan rasanya seolah-olah aku
tak punya tenaga sama sekali. Rapalan doa terucap, semoga beliau baik-baik
saja. Lirihku, Ya Allah, aku nitip Mbah Kakung. Aku sadar, aku sayang
Mbah Kakung.
Bukan hal yang tak berdasar kenapa aku menyayangi
beliau. Beliau adalah sosok yang teduh dan berhati baik. Ohya, saat kecil,
beliau juga mengajarkan huruf hijaiyah padaku. Mengajakku untuk berkeliling
sawah miliknya hingga kulitku gosong. Yang menyemangatiku untuk belajar
bersepeda. Yang mendukungku untuk menjadi seorang guru, yang katanya bakal
bermanfaat buat umat. Yang mengajarkanku bagaimana menjadi manusia seutuhnya. Ah,
ngefans kali yak aku dengan beliau.
Sampai saat ini, pesan yang paling kuingat dari sosok
renta yang teduh itu adalah mengenai QS Al Kahfi. Walau penglihatannya sudah
tidak jernih, aku iri padanya. Mbah Kakung masih sanggup membaca 1 juz Alquran
dalam sehari atau lebih dengan kacamatanya. Setelah membaca shodaqollahul’adzim,
beliau akan membaca akhir dari QS Al Kahfi, kalau tidak salah dari ayat 107
yang intinya bahwa orang-orang yang berbuat kebajikan dan beramal soleh, maka
surga Firdauslah tempatnya. Ya, benar. Tidak hanya menjadi soleh namun juga
harus bisa berbuat baik pada sesama. Beliau pernah menjelaskan padaku panjang
lebar mengenai makna ayat itu. Aku jadi berkontemplasi, cukup egois kalau hanya
berusaha maupun belajar untuk menjadi soleh bagi diri sendiri, maka sebisa
mungkin harus bisa menebar hal baik walau kecil sekali.
Ohya, dulu semasa kecil, ketika akhir pekan aku selalu
menginap di rumah Mbah. Dasar aku yang bandel! Aku dilarang makan mie instan
terlalu sering oleh orangtua, tapi di rumah Mbah semua keinginanku bisa terwujud,
haha. Dan aku ingat betul, dulu saat masih bugar sekali, Mbah Kakung menjadi
imam sholat Subuh di mushola dekat rumahnya. Aku sok-sokan minta dibangunkan
dan ikut solat Subuh berjamaah di mushola. Eh dasar aku! Kebo sekali! Sulit untuk
dibangunkan dan kalau ditinggal, aku bakal ngambek. Ckck, parah! Namun, pernah
juga berhasil. Aku bangun dengan cara digelitiki kakiku dengan ujung tasbih
milik Mbah. Kalu tidak ya hidungku yang bakal dijahili. Berhasil! Aku bangun
dan turut ke mushola. Ah, tapi saat itu jarak antara adzan dan sholat begitu
lama. Bahkan, sebelum adzan, dibacakan dulu beberapa ayat Alquran. Tak jarang
aku tertidur. Haduh, padahal tidur dapat membatalkan wudhu ya, haha.
Memori demi memori berkelebat. Hingga kini, Mbah
Kakung menjadi sosok yang amat kuhargai. Bahkan, aku sempat curiga. Aku merasa
beruntung dalam beberapa hal di kehidupan ini bukan karena kerja kerasku
(boro-boro) apalagi doa yang mungkin seperti orang pada umumnya. Apakah bisa
jadi, hal itu adalah bentuk pengabulan doa dari Mbah Kakung yang selalu
mendoakan hal baik bagi anak cucunya siang malam? Ah, beruntungnya saya Mbah
bisa memiliki sosok kakek sepertimu.
Waktu hampir menunjukkan pukul setengah 8. Akhirnya, sebuah
kabar agak melegakan hati. Mbah Kakung nggak apa-apa, ini bentar lagi pulang.
Aku mengucap hamdalah dan merasa sedikit lega. Namun, aku masih dalam posisi
hati tidak nyaman dan muka sendu kalau belum melihat dengan mata kepala sendiri
bahwa orang yang ku cinta dalam keadaan baik-baik saja.
Hingga terdengar ada yang memasuki pelataran. Mbah
Kakung duduk persis di samping ayah yang sedang menyetir. Aku lega,
selega-leganya. Perlahan namun pasti, cahayaku yang redup mulai menyala
kembali. Memang, beliau terluka namun tidak parah sekali. Aku langsung menyambutnya
dengan tatapan haru dan salim. Kulihat Mbah Uti, menitikkan air mata dan
mengecup pipi Mbah Kakung. Ah, gue terhuraa hueee hiks. So sweet amat siiii. Menua
bersama dan melewati segala, mashaallah tabarakallah. Semoga dipertemukan kembali di surga ya Mbah, aamiin.
Begitulah. Hari yang panjang dan sangat menguras emosi
maupun kekuatan fisik tapi sekaligus menyadarkanku untuk menghargai keberadaan orang
yang kucinta sebelum kesempatan itu pergi. Aku yang mungkin sok sibuk, hingga
terkadang mama menegurku untuk main ke rumah Mbah karena ditanya “Asa kok ra rene?”
Aza, kok nggak ke sini? Begitulah tanya mereka kalau batang hidungku tak
muncul cukup lama.
Mbah, aku akan mencoba untuk mengatur waktuku lebih
baik. Mengurangi waktu bersosmedku. Memprioritaskan keluarga sebelum acara
rapat maupun project agar dapat berkunjung secara rutin, inshaallah.
Belum ada Komentar untuk "Mari Berjanji Untuk Ditepati"
Posting Komentar
Silahkan memberikan saran dan masukan :)