Setabah Bulan Juni, Semerdu Sepotong Senja Untukmu

hi! it's me with Ili

Beberapa hari yang lalu, saya bersama sahabat baik mengunjungi Rumah Atsiri. Sudah kedua kalinya kami berkunjung ke sini. Destinasi tersebut adalah usulan saya. Saya benar-benar merasa lelah setelah beberapa aktivitas akhir-akhir ini. Belum lagi, distraksi dunia maya yang cukup mengganggu. Karena dinobatkan sebagai pemenang 1 Duta Bahasa Jawa Tengah 2021, kemudian ada beberapa akun yang mengunggah pencapaian saya, akhirnya ramailah jagad medsos saya. Banyak pesan yang masuk dari akun-akun yang tidak saya kenal, mulai dari yang sopan hingga yang minta dilempar sandal.

Saya pribadi termasuk tipikal yang menyukai kedamaian, tempat yang tenang, jauh dari sorotan, dan menjadi yang di balik layar. Namun, namanya juga kehidupan. Akan ada saat-saat di mana kenyataan akan mengubah diri menjadi pribadi yang adaptif dengan segala kemungkinan. Setelah hiruk pikuk sosmed, saya memutuskan untuk mengadakan “a short sweet escape”, dengan seseorang yang sudah paham betul bagaimana karakter saya.

Dengan sahabat saya yang satu ini, saya merasa nyaman dan bisa bercerita tanpa perasaan “denial” yang menyertai. Momen-momen seperti ini, juga saya rasakan ketika bersepeda sore hari bersama teman-teman jurnalis di Humas, mengitari UNS dengan obrolan yang penting sampai receh. Lantas, dilanjutkan makan bersama di bakso UPT maupun pesan makanan melalui ojek daring.

Memang, menemukan sosok yang satu frekuensi adalah sebuah anugerah. Menghabiskan waktu dengan mereka bukanlah sesuatu yang menakutkan apalagi bingung topik apa yang harus dibicarakan. Semua mengalir dan menyenangkan.

Jujur, pada tulisan ini gaya bahasa saya sedikit berbeda. Eh tidak sedikit. Namun, memang sangat berbeda. Saya ingin mencoba menulis dengan gaya baru, hehe.

Saat pergi ke Rumah Atsiri, suasana saat itu agak mendung. Dalam hati saya was-was, bagaimana kalau hujan tiba. Jalan-jalan di tempat terbuka yang seharusnya menyenangkan nanti malah berakhir dengan basah kuyup beserta perasaan jengkel. Namun syukur alhamdulillah, kami tidak kehujanan karena Tuhan berbaik hati membiarkan suasana cerah ceria.

Tak disangka pula, ketika kami memasuki museum Rumah Atsiri, pemandu edukator museum mengenali saya. “Zalfaa ya?”. Saya mengangguk dan ternyata dia pernah satu UKM dengan saya, tepatnya di UKM Badminton. Haha, dunia sempit sekali ya!

Suasana alam dan pegunungan yang begitu sejuk, benar-benar membuat saya betah. Beberapa kali Ili menanyakan “Kamu happy Za?”. Of course! Tapi dia menimpali “Tapi, kok dari tadi silent mulu sih?”. Haha, belum tau kamu ya Il, kalau aku bahagia yang amat sangat, aku nggak akan banyak cerewet dan memilih mengagumi ciptaan Tuhan dalam diam.

Saat perjalanan pergi maupun pulang, ada satu hal yang cukup membuat saya kepikiran. Ketika melihat pepohonan yang tinggi, dataran tinggi dengan kesejukannya, beberapa pondok pesantren seperti Isy Karima, dan tanaman hijau di kiri kanan. Mungkin memang random, tapi beberapa hal itu mengingatkan saya pada jatuh bangun kehidupan ini.

Beberapa kali saya ngotot minta dimasukkan ke pondok pesantren. Dulu, pasca SMP saya meminta orang tua agar mengizinkan anak gadisnya ini untuk ikut seleksi masuk di Gontor. Tapi, tidak terkabulkan. Setelah SMA pun, keinginan untuk mondok masih ada. Maka, dulu setelah UN SMA kalau tidak salah ingat, saya pernah mengikuti tes seleksi pondok dan dinyatakan lulus. Aduhai senangnya bukan main! Namun, karena nama saya terdaftar pada jatah kuota SNMPTN di SMA, lagi-lagi saya harus berbesar hati menunda keinginan mondok.

3 tahun di perkuliahan, banyak sekali jatuh bangun yang saya rasakan. Merasa salah jurusan. Menangis karena masuk soshum tapi rasa IPA. Gagal dalam mendaftar beasiswa. Hingga, stress karena suatu matkul yang saya sudah merasa tidak senang ditambah ada rencana ujian lisan.

Tapi..

Saya terharu. Tuhan selalu mengirimkan orang-orang baik dalam hidup saya. Saya memang aktif berorganisasi tapi bukan berarti saya ekstrovert. Hanya beberapa orang yang dekat dan bisa memahami saya. Teman dan relasi mungkin bisa dikatakan banyak, namun yang bisa klop dan nyaman, tidak sebanyak itu pula.

Saya memiliki hobi menulis, dulu pernah ada keinginan masuk sastra. Namun, karena suatu hal, masuklah saya menjadi anak pendidikan. Sungguh, 3 tahun ini bukanlah hal yang mudah. Saya yang melankolis terkadang menangis mengingat hal-hal menyakitkan yang dilalui. Tapi, di Prodi inilah saya menemukan anugerah pula. Saya diberi kesempatan untuk mencicipi kuliah di University College London setelah melalui seleksi walau secara daring. Di Prodi inilah, Pak Subagya, Kaprodi saya merasa senang memiliki anak didik seperti saya karena bisa-bisanya tahun ini saya masuk dalam Mahasiswa Berprestasi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, bisa-bisanya menjadi Duta Bahasa padahal saya bukan anak sastra, dan saya bisa menjadi bagian dari Humas UNS sebagai jurnalis.

Terharu, bersyukur, dan tenang. Itu yang saya rasakan ketika menulis ini..

Dulu, saya sering menyalahkan keadaan. Kenapa saya masuk Prodi Pendidikan Khusus aka Luar Biasa? Mengapa sastra atau Ilkom bukanlah jalan yang dipilihkan untuk saya? Mengapa saya selalu gagal dalam kompetisi bergengsi? Mengapa saya merasa benci ketika dosen bilang bahwa saya adalah calon guru. 3x gagal pula dalam aplikasi beasiswa.

Tapi itu semua adalah Zalfaa yang dulu. Yang penuh dengan penolakan dan pertanyaan. Sekarang, saya sudah menerima takdir. Walaupun, berada di Prodi PLB, bukan berarti itu menjadi batasan mimpi-mimpi saya. Bodo amat, kalau ada narsum terheran-heran lagi ketika setelah wawancara menebak, “Ini Mbaknya dari Ilmu Komunikasi ya? Oh bukan? Dari sastra yaa?” Dan saya selalu menggeleng hingga bilang, “Dari Pendidikan Luar Biasa, Pak/Bu.” Biasanya wajah mereka akan terheran-heran. Dulu, saya rada malu tapi sekarang dengan bangga saya akan bilang, kalau saya dari jurusan PLB. Toh, dulu Prov. Ravik Karsidi, mantan Rektor UNS yang sekarang menjadi Staf Khusus Menko PMK adalah alumnus PLB juga.

Tidak, sampai titik ini saya bukanlah orang yang hebat maupun pantas dikatakan menginspirasi. Saya bisa sampai titik ini, karena kebaikan Tuhan yang menyertai. Saya lemah dan rapuh. Apa jadinya kalau tidak ada yang menopang dan memelihara.

Amanah sebagai Duta Bahasa Jawa Tengah, mentor muda di Youlead dan SKI, mendapatkan beasiswa di Tempo Institute, membuat saya sadar. Sekarang, bukan waktunya lagi mengeluh dan menyangkal. Apalagi rebahan sepanjang waktu. Hidup saya harus lebih tersusun dengan baik. Saya memang masih tidak tahu, akan berakhir seperti apa besok. Tapi, saya yakin bahwa Tuhan tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya kesulitan terus menerus. Satu yang pasti, selain menyiapkan masa depan dan ambisi dunia, ada sesuatu yang sudah pasti menanti. Masa depan yang paling pasti adalah akhirat. Saya memang bukanlah orang yang relijius tapi, saya percaya akan adanya hari akhir. Dan itulah yang seharusnya dipersiapkan secara lebih baik daripada segala hal.

Terakhir, teruntuk orang-orang baik yang sudah datang, saya merasa bersyukur dipertemukan dengan kalian. Saya menyayangi kalian dan berharap yang terbaik bagi kehidupan kalian. Maaf, kalau terkadang saya lambat dalam merespon pesan maupun menyebalkan dalam hal lain. Tapi.. satu hal yang saya yakini. Kalian akan tetap menyayangi saya kan sebagaimana Hujan Bulan Juni yang selalu tabah? Haha. Merci mon amour!


Belum ada Komentar untuk "Setabah Bulan Juni, Semerdu Sepotong Senja Untukmu"

Posting Komentar

Silahkan memberikan saran dan masukan :)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel