Bintang yang Bersinar Teduh
bintang di langit. sumber: pinterest |
Adakala, sebuah bintang yang terlihat begitu terang benderang, ia meredup lalu cahayanya pudar. Bukan, bukan karena angin malam yang meniup rona cahayanya. Saking silaunya ia, semakin bersinar cahaya itu, semakin tak kuasa bintang itu menahan panas dan nyerinya. Ia pun meredup sebentar, mendinginkan bara panas itu.
Benar, seorang guru sejarah nan masyhur pernah bilang “Jadilah
bintang di setiap angkasa.” Namun, ternyata menjadi bintang itu bukanlah
sesuatu yang selalu fantastis dan menyenangkan. Bahagia di awal dengan taburan
cahaya yang berkilauan indah dan sedap dipandang mata. Namun, mereka tidak tahu
ada apa di balik kilau cahaya itu.
Perasaan terluka, kehilangan, bahkan hancur
berkeping-keping karena daya lentingnya sudah di ambang batas. Jam-jam malam
yang syahdu namun masih rusuh melakukan sesuatu. Seolah-olah 24 jam dalam
sehari masihlah kurang. Dasar rakus!
Mereka tidak pernah tahu, bahwa bintang yang terlihat
bersinar pun ternyata perlu juga untuk menepi bahkan redup seredup-redupnya. Ia
tidak mau sinarnya itu terlalu terang sehingga menimbulkan silau yang menusuk
mata. Namun, ia juga ingin agar pesona cahayanya mampu menerangi sekitar dengan
teduh.
Tersaruk-saruk ia mencari jalan pulang. Ternyata,
sinar yang terang itu telah membuat sebagian dirinya hilang. Beberapa hal dalam
dirinya memudar sehingga ia merasa seperti asing sendiri. Mereduplah ia untuk
mencari lebih lanjut di mana rembulan yang dulu selalu menemaninya hingga Subuh
pergi.
Aduhai, namun tentu saja bulan tidak terlalu suka
kalau ada cahaya yang lebih terang dibandingkan dengan dirinya. Namun, bukankah
itu egois?! Kenapa bulan hanya memikirkan dirinya? Mengapa ia tidak mau
mengapresiasi bintang yang berkilau indah itu? Takutkah ia citranya akan kalah
dengan bintang? Padahal, bukankah saling melengkapi bisa jadi jalan yang
diambil? Saling menyinari dan berada di langit yang sama untuk melihat bumi dan
sekitarnya.
Akhirnya, bintang itu sadar, tak baik menuruti pihak
lain kalau dirinya terluka dan bahkan harus merendahkan nilainya. Ia memilih
pergi, mencari kawan baru untuk menemaninya hingga Subuh. Bertemulah ia dengan
segerombolan kunang-kunang.
Awalnya, bintang yang kini mulai kembali bersinar itu
ragu, apakah kunang-kunang itu mau berteman baik dengannya? Atau sama saja,
kunang-kunang itu hanya ingin mengambil manfaat darinya? Ia sudah lelah dan tak
mau menebak mana yang benar-benar tulus ingin berteman atau sama saja.
“Halo, bintang kecil!” Sapa kunang-kunang.
“Hei, kunang-kunang manis nan lucu. Apa yang kamu
lakukan di sini? Di langit yang tinggi ini? Bukankah seharusnya kamu berada di
sawah? Jauuuh dari sini?” Balas bintang.
Kunang-kunang itu tertawa, “Ya! Tapi, aku punya
kendali atas kemauan dan apa yang hendak kulakukan. Aku bosan berada di sawah
dan di sinilah aku, dengan berusaha sekuat tenaga, sampai juga aku di langit!
Aku bisa mengenal diriku dengan baik, maka aku juga bisa bermimpi untuk
berkunjung ke langit dan mewujudkannya. Voila!”
Sang bintang tersenyum. Kagum atas usaha kunang-kunang. Mereka pun akhirnya berteman baik. Perlahan namun pasti, bintang tersebut kembali menemukan jati dirinya. Kunang-kunang banyak membantunya untuk kembali bersinar sekaligus melengkapi bagian dirinya yang hilang. Mengerti porsi yang baik dalam memanfaatkan waktu 24 jam. Ia semakin bersinar saja rupanya. Bukan, bukan sinar yang menyilaukan sampai menusuk mata. Namun, sinar yang berkilau dengan indah. Yang membuat siapapun merasa nyaman melihatnya hingga tak sadar seulas senyum bahagia menghias wajah. Hingga suatu saat, bintang itu harus redup selama-lamanya. Ya, selama-lamanya.
SELESAI
Ditulis dengan perasaan sendu, terharu, sekaligus lega
setelah membaca setumpuk surat yang ditulis tangan oleh beberapa kawan pada kertas.
Nun Jauh di Sini, 25 Juli 2021
Belum ada Komentar untuk "Bintang yang Bersinar Teduh "
Posting Komentar
Silahkan memberikan saran dan masukan :)