Menolak karena Agama
dokumen pribadi |
Hari itu, hari yang agak gerimis. Penutup bulan Juni yang membuat keadaan sendu. Siapapun pasti hanya ingin bermalas-malasan di kasur. Atau hanya berdiam diri di kamar ditemani buku favorit dengan secangkir matcha panas yang menggoda. Seharusnya, hari ini aku bertemu dengan seorang teman. Namun, mengingat pandemi sedang masifnya, aku memutuskan untuk menunda pertemuan ini dan menabungnya hingga menjadi celengan rindu.
Walau tidak terjadi bertemu secara langsung, kami
tetap berkomunikasi pada akhirnya. Dengan memanfaatkan fitur Google Meet kami
membuka percakapan demi percakapan. Ia menanyakan bagaimana kesibukanku
akhir-akhir ini. Terkekeh kemudian meledekku dengan julukan “Ibu Duta”. Huft,
menyebalkan sekali.
Gantian aku menanyakan kabarnya, “Kamu dan keluarga
sehat kan?”
Ia yang semula terkekeh menjadi diam. Aku deg-degan menunggu
kalimat yang keluar. “Alhamdulillah gue dan keluarga sehat. Kami nggak ke
mana-mana kok saat pandemi ini. Abang gue bahkan nyetok bahan makanan di
kulkas. Sampai gendut nih makan jatah makanan yang harusnya buat dua hari lagi,”
kawan bicaraku mencoba tersenyum namun aku bisa menangkap nada kesedihan yang
ada.
Aku tidak berbicara. Menunggu kalimat yang keluar
selanjutnya.
“Zal..”
“Hmm?” aku gemas, kenapa ia tidak menimpali dengan
kalimat efektif yang sesuai PUEBI, haha. Canda.
“Gue baru galau nih.”
Aku tidak bertanya mengapa. Menunggu reaksi temanku
apakah ia mau bercerita lebih lanjut atau hanya ingin membuatku penasaran.
“Jadi gini Zal, dulu gue pernah cerita kan tentang
cowok yang deketin gue? Iya sih, manis dan baik kayaknya. Tapi kan agama kita
melarang hubungan yang dekat ya dengan laki-laki yang bukan mahram. Gue nolak
dia Zal pas dia bilang ada rasa suka sama gue walau sebenernya gue agak luluh dengan
sikap dia. Tapi sekali lagi, kan agama kita nggak bolehin.”
Aku mengangguk dan menatap layar laptop. Aku rada
salah fokus dengan latar belakang kamar yang agak berantakan. Padahal kawanku
ini selalu lebih rapi dariku, dari aspek manapun. Tumben banget.
Dia melanjutkan, “Eh belum ada sebulan menyatakan
cinta dan gue tolak, kok sekarang udah sama cewek lain aja. Fuce* boy banget
nggak sih? Nggak dapet gue terus dengan mudahnya ke lain hati gitu? Hmm, gue kira
dia cowok baik yang beritikad baik pula. Kesel deh Zaa.”
Aku menyeruput matcha di sebelahku. Kulirik buku
Negeri 5 Menara yang kurang setengah halaman lagi selesai kubaca. Aku masih
setia diam. Membiarkan lawan bicaraku bicara mengalir bercerita tanpa aku sela.
“Gue kecewa dan marah Zal. Kecewa juga kenapa gue bisa
tertipu pada awalnya.”
Temanku terlihat menunduk. Menyeka bulir bening yang
keluar dari kedua matanya. Aku ikut tersentuh dan sedih melihat kawan baikku
dirundung lara. Makin lama dia terisak dan akhirnya menangis. Gerimis semakin
membuat sendu. Akhir Juni yang melankolis. Ah, Eyang Sapardi.. andaikan temanku
bisa setabah dan searif bulan Juni.
Hening beberapa saat.
“Gue.. gue harus gimana Zal?” dia akhirnya kembali
menatap layar dan memungut beberapa tisu untuk menghapus air matanya. “Plis,
kasih gue saran. Beberapa hari terakhir gue mencoba untuk berdamai dengan diri
sendiri secara pribadi, tapi susah! Gue butuh masukan dari temen macem lo”
Ku panggil namanya. “Bukannya menggurui, tapi kamu
harusnya bahagia dan bersyukur lho,” aku berkata dan memilah kalimat dengan
hati-hati.
“Kamu kan tadi bilang, belum ada satu bulan, kenalanmu
itu tiba-tiba deket sama cewek lain, bahkan mereka jadian. Coba, kalau kamu
waktu itu menuruti hawa nafsumu Na, nggak ada yang menjamin dia bakal setia. Dia
aja berani durhaka sama perintah Tuhannya, jadi bukan apa-apa untuk
mengkhianatimu juga. Kalau dia sama kamu berani menggoda, sama perempuan lain
juga bisa kayak gitu. Bersyukur, Allah selamatkan kamu dari orang yang nggak
tepat,”
Aku diam sejenak. Temanku juga diam.
Aku melanjutkan, “Sekarang aku nanya deh sama kamu. Kamu
katanya ngefans sama sosok laki-laki macem Fahri di novel AAC-nya Kang Abik,
lha dia jauh banget dari karakter Fahri. Menurutku kamu orang yang pantas
mendapatkan laki-laki baik-baik. Kamu tuh produktif keren deh! Rajin banget
upgrade diri kayak nggak ada stok capeknya. Tapi di lain sisi, kamu juga
upgrade terus pengetahuan agamamu. Meski kamu bilang ala-ala logat Jakarta kalau
“gue mah remah rengginang, nggak ada relijiusnya”. Tapi, kamu kan selalu
berusaha dan lihat deh, aku bangga sama perubahanmu sekarang.”
Temanku terlihat tersipu. “Hilih, sok-sokan muji yaa,
haha. Perubahan apa coba Zal?”
“Harus diperjelas nih? Hmm. Dulu kamu bilang yang
penting solat lima waktu. Eh, sekarang udah mulai Dhuha, bahkan merutinkan
dzikir pagi kayak yang kamu ceritakan akhir-akhir ini. Oya, ngikut jejakku juga
jadi kutu buku, haha.”
Lawan bicaraku mulai menyunggingkan senyum, “Nanti tahun
depan, gue bakal ketularan donk jadi Duta Bahasa di provinisi gue kayak lu.”
Aku lega. Ada secercah senyum di wajah temanku.
“*menyebut namanya*, Kamu perempuan yang spesial,
punya nilai yang baik. Teratur dalam urusan waktu dan bahkan tahun ini
prestasinya masyaallah. Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dari dia. Bersyukur
kamu nggak mengalami apa yang dialami oleh Taylor Swift hingga harus menuliskan
lagu berjudul I Knew You Were Trouble. Allah masih sayang kamu sehingga
diselematkan dari hal yang bisa memperburuk dunia dan akhiratmu. Dan aku
bangga, kamu bisa menolak dia karena alasan agama!”
“Aduh Ibu Dubas, ceramahnya suka bener deh!” dia
kembali jahil.
“Heh, janggan panggil kayak gitu donk. Aku keluar Google
Meet, nih!” aku menahan senyum dan semakin lega melihat temanku kembali ke
tabiat awalnya. Usil dan jahil tapi baik.
“Haha jangan donk. Etapi, kalau dipikir-pikir bener
juga ya Zal. He doesn’t deserve me! And why I should cry for this stuff? Hadeh,
astagfirullahal ‘adzim. Padahal, ada hal lain yang bisa gue tangisi, kayak
kapan gue kelar skripsi.”
Aku tersenyum.
“Aku doakan deh kamu dapet suami yang hafiz, penyabar, dan bertanggung jawab. Tapi, yang lebih penting semoga kamu bisa bahagia dengan banyak cara. Semoga proses skripsimu dimudahkan. Oya coba lihat kamarmu
itu. Kayak kapal pecah, parah sih.”
Dia tersenyum malu. “Amin ya Allah. Iya iya. Habisnya gue kan habis
galau jadi mager ngapa-ngapain. Sekarang, udah dapet pencerahan. Habis ini deh
gue langsung beres-beres.” Temanku menyeka sisa air matanya yang kering. Lantas
dia menatapku sambil bilang “Makasih banyak ya, it means a lot for me!”
Aku mengangguk dan mengucap hamdalah. Kami pun
melanjutkan obrolan tanpa menyinggung laki-laki yang diceritakan di awal tadi. Dear
my sweet-kind-hearted friend, cukup satu orang itu merusak hari-harimu saat
itu, selebihnya jangan izinkan dia menghancurkan hari-hari produktifmu. Terima kasih
untuk ceritanya. Semoga aku, kamu, kita selalu dalam lindungan Allah. Jaga kesehatan
semua! Mari di rumah aja dulu kalau nggak ada urusan mendesak. Selamat malam!
Hemm menginspirasi sekali kisahnya, benar sih beruntung gak dapat cowok seperti itu. Cuacanya gerimis pas banget gitu.
BalasHapus