My Patronus
patronus di harpot. sumber: pinterest |
Dan well, dalam buku yang sedang kubaca, aku
merasakan sensasi yang berbeda karena pada beberapa halaman, aku diminta untuk
berhenti membaca, entah itu untuk membuka siniar (podcast) yang telah disiapkan
penulis dengan cara memindai barcode atau menggarap latihan yang ia berikan. Dan
sampailah aku pada halaman 64 dan aku diminta untuk menuliskan patronus.
Hal ini sekaligus menjawab tantangan menulis yang kuikuti dengan tema “My
Proudest Moment”. Mari, mari dibaca sambil menyeruput teh hangat.
Sebenarnya, dalam buku sudah ada satu halaman khusus untuk
menuliskan patronus versiku. Namun, aku yang cukup antusias dalam
menulis, rasanya tidak cukup menuangkan perasaan dan pikiranku, dalam satu
halaman yang tersedia. Ditambah, tulisan ketikan di komputer, lebih
memudahkanku. Fyi, kecepatanku menulis rapi dengan tinta daripada mengetik,
lebih cepat durasi mengetikku. Namun, kalau saat-saat wawancara, tulisan ceker
ayam pun bisa menyalip kecepatan mengetikku, haha. Jadi, tergantung keadaan yaa
kalau membicarakan versi tulisanku sedang rapi atau versi ceker ayam.
Oke, kalau patronous diidentikkan dengan momen
yang membahagiakan atau bahkan mencengangkan yang membuat diri menjadi terlecut kembali semangatnya,
terdapat beberapa momen dalam hidupku. Dan itu semua nggak jauh-jauh dari
renjana yang melekat pada diriku. Apa itu? DUNIA KEPENULISAN.
Pada tahun 2019, aku tergabung dalam volunteering mengajar
untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Saat itu, coordinator volunteer memintaku
untuk mendampingi salah satu adik berkebutuhan khusus, tepatnya tunanetra low
vision yang mau masuk UNS. Tentu saja dengan senang hati aku mengiyakan.
Si adek pun menghubungiku melalui pesan WhatsApp. Kami
intens berkomunikasi. Ia menayakan hal-hal administratif padaku, atau yaa
sekadar curhat-curhat gitu. Kami pun menjadi teman yang baik saat itu. Otomatis
si adek menyimpan nomorku dan aku pun melakukan hal yang sama. Maka, kami bisa
melihat status satu sama lain dan saat itu aku rajin menulis di blog dan
membagikannya di status WhatsApp.
Hingga hari tes tiba. Si adek ini minta bantuanku
untuk mengantarnya ke suatu gedung di UNS, tepatnya di UPT TIK, yang mana beberapa
bulan lalu rokku pernah kesrimpet gara-gara sepedaan dan kurang
hati-hati. Masalah rok kesrimpet nggak perlu aku bahas yaa. Kalau
diinget-inget bikin ketawa dan malu, hahaha, tapi aseli, lucu kali momen pas
itu. Oke, balik ke pembahasan.
Si adek ternyata datang bersama mamanya saat hari tes
tiba. Aku pun mengobrol sejenak dengan mamanya. Aku bilang ke pihak panitia,
bahwa ini si x yang hendak mengikuti ujian, serta aku menjelaskan keadaan si
adek. Panitia pun segera tanggap dan mengantar ke ruang tes. Aku lega.
Ketika aku hendak beranjak karena ada kegiatan lain,
aku ngobrol sebentar dengan mamanya. Dia bilang yang kurang lebih gini, “Mbak,
makasih yaa udah bantu Umi (nama si adek) buat persiapan masuk ke UNS. Saya
sebenarnya nggak terlalu yakin kalau dia bisa lanjut ke UNS, kan ini univ bagus
ya di sini. Ditambah keadaannya yang seperti itu. Tapi, semangatnya buat
belajar saya acungi jempol dan ada Mba Zalfaa yang mau bantu,” ujar mamanya.
Aku cukup tersentuh saat itu. Padahal, menurutku aku
tidak membantu terlalu banyak. Kalau Dek Umi, nanya, ya aku jawab. Kalau butuh
teman untuk bercerita, ya aku siap mendengarkan. Aku pun mengangguk dan terharu
atas pernyataan mamanya.
Hari demi hari berlalu dan pengumuman seleksi pun
tiba. Dek Umi tiba-tiba mengabarkan padaku, yang intinya.. DIA DITERIMA! Terus
mengirim pesan yang kurang lebih, isinya begini..
“Assalamu’alaikum, Mba Zalfaa. Mba, alhamdulillah aku
diterima di UNS! Makasih banyak yaa, Mba selama ini udah bantuin aku. Oh ya
Mba, aku juga pembaca blog Mba Zalfaa lo, aku terinspirasi oleh tulisan-tulisan
Mba. Di situ, aku paling suka judul artikel (dia menyebut salah satu artikelku).
Aku inget bahwa Mbak pernah menuliskan kalau rencana Allah itu yang terbaik dan
emang gitu ya,”
Aku tidak bisa tidak bangga dan susah untuk menahan
air mata yang menyeruak. Dikkkk.. kalau kamu ngomong langsung, udah bisa
dipastikan Mba akan langsung meluk kamu dengan mengucapkan selamat dibalut rasa
haru yang luar biasa, karena Mba Zalfaa tahu prosesmu dari awal sampai bisa
diterima itu nggak mudah.
Kalau inget momen itu gais, aku merasa kayak.. menjadi
berarti bagi orang lain dan itu sesuatu yang melegakan. Entahlah, kalau disuruh
nulis tentang momen paling membanggakan, ya gitu, tulisanku bisa bermanfaat
bagi orang lain dan ada nilai kebaikan yang ia dapat.
Selain itu, sebagai jurnalis kampus, sering ada nomor
yang tidak dikenal mengirimiku pesan, entah untuk mengabarkan undangan liputan
atau bertanya bagaimana prosedur agar dirinya/komunitasnya/Prodinya bisa diliput
ke laman website resmi UNS. Sebagai Jurnalis di Humas, aku pun meladeni pertanyaan
mereka. Dan.. ketika setelah diliput mereka merasa senang dan benar-benar
berterima kasih kepadaku.
Lagi-lagi hatiku hangat. Bahkan, ada yang pernah
sampai hampir maksa buat ngasih gue duit, karena di penelitian dia, sudah ada
anggaran untuk publikasi. Namun, sesuai kode etik jurnalis, aku menolak dengan
halus uang itu. Beberapa dosen memang begitu wkwk. Kalau mereka mau publikasi
penelitian, pasti ada anggaran khusus untuk publikasi di media. Nah, aku
menemui beberapa kasus, yang pasti, para dosen setelah selesai aku liput
acara/penelitiannya akan bertanya “Dek berapa biayanya?” dan aku selalu bilang
bahwa kami tidak memungut biaya apapun.
Aku ingat sekali.. salah satu dosen memberikan respon
yang membuat hatiku gerimis karena haru. Huhu, gampang banget ya aku tersentuh.
Intinya si Ibu awalnya bilang kalau ada duit buat publikasi media tapi aku
bilang kalau kode etik jurnalis, nggak boleh menerima uang. Beliau pun menjawab
“Mulia sekali ya, Dek pekerjaanmu. Semoga urusanmu dilancarkan Allah ya. Ibu sangat
berterima kasih,” dengan serentetan doa lainnya. Bahkan, aku yang saat itu dan
sekarang sedang memajang foto profil di WA dengan gambar profil kakiku ketika
di suatu pantai di Pacitan, turut dipuji olehnya. Katanya, saya belum pernah
lihat Mba Zalfaa, tapi dari lihat kakinya aja, sepertinya Mba juga cantik yaa. Haha.
Aseli, mood banget waktu itu. Juga, ada dosen lain yang bilang terima kasih
ditambah “Lemah teles, Gusti Allah sing mbales yo, Mbak.” (Tanah basah, semoga
Allah yang membalas “kebaikan” Mba ya). Ungkapan yang hampir sama seperti Jazakallah
khoiron. Ah, suka sekali aku, kalau ada orang bilang kata itu. Enak didengar.
Begitulah gais, sebenarnya ada beberapa momen. Tapi,
nanti malah jadi satu bab novel kalau aku tulis semua. intinya, patronusku
adalah momen-momen di mana saat seseorang/sekelompok orang merasa senang dan
lega atas tulisanku. Entah itu tulisanku yang di blog, maupun produk
jurnalistikku. Oh ya, aku kan lebih sering memperbarui status tentang kutipan
atau insight baru ya, beberapa temanku, menjawab statusku dan berterima kasih
padaku karena telah membagikan hal itu. Lagi-lagi, kalau ada pesan seperti itu,
mendung di hatiku lenyap seketika. So yeaaah. My patronus is something that
relate with WRITING. It’s a plush to feel, think, and make a writing that
inspire others.
Em, sebelum menutup ini, sebenarnya aku rada galau. Satu
tahun lagi, kalau Allah mengizinkan, aku akan lulus dari kuliah jenjang
sarjana. Renjana dan patronusku sudah jelas, yakni hal yang berhubungan dengan
menulis. Namun, dari orang tua, dosen, bahkan Kaprodi meyakinkan bahwa aku mampu
menjadi pengajar yang baik. Eh, tapi kan mengajar nggak harus menjadi
guru/dosen yaa, *nah ngeles nih si Zalfaa.
Intinya, aku di persimpangan tentang memilih karir
atau melanjutkan studi di bidang jurnalistik atau pendidikan? Aku galaauuwwww… ini
bukan pilihan yang mudah. Tapi, ya sudah lah, biarkan aku membaca beberapa buku
dulu dan meminta petunjuk Allah untuk memantapkan pilihan hati. Kamu yang
sedang membaca ini, juga boleh mendoakan yang terbaik bagiku, hehe. Thanks in
advance! Jadi.. Berkarir? Lanjut studi? Atau..? Wallahu a’lam bisshowab. Wassalamu’alaikum!
Belum ada Komentar untuk "My Patronus"
Posting Komentar
Silahkan memberikan saran dan masukan :)