My Patronus

patronus di harpot. sumber: pinterest


Patronus. Apa itu? Aku mendapatkan istilah ini dari buku yang sedang kubaca. Istilah ini diambil dari serial Harry Potter. Kata ini berasal dari bahasa latin yang artinya pelindung. Penulis sendiri mengartikan bahwa patronus adalah hal-hal, memori, ingatan tentang suatu momen yang membahagiakan atau mencengangkan dan biasanya sangat jelas terekam di otak kita.

Dan well, dalam buku yang sedang kubaca, aku merasakan sensasi yang berbeda karena pada beberapa halaman, aku diminta untuk berhenti membaca, entah itu untuk membuka siniar (podcast) yang telah disiapkan penulis dengan cara memindai barcode atau menggarap latihan yang ia berikan. Dan sampailah aku pada halaman 64 dan aku diminta untuk menuliskan patronus. Hal ini sekaligus menjawab tantangan menulis yang kuikuti dengan tema “My Proudest Moment”. Mari, mari dibaca sambil menyeruput teh hangat.

Sebenarnya, dalam buku sudah ada satu halaman khusus untuk menuliskan patronus versiku. Namun, aku yang cukup antusias dalam menulis, rasanya tidak cukup menuangkan perasaan dan pikiranku, dalam satu halaman yang tersedia. Ditambah, tulisan ketikan di komputer, lebih memudahkanku. Fyi, kecepatanku menulis rapi dengan tinta daripada mengetik, lebih cepat durasi mengetikku. Namun, kalau saat-saat wawancara, tulisan ceker ayam pun bisa menyalip kecepatan mengetikku, haha. Jadi, tergantung keadaan yaa kalau membicarakan versi tulisanku sedang rapi atau versi ceker ayam.

Oke, kalau patronous diidentikkan dengan momen yang membahagiakan atau bahkan mencengangkan yang membuat diri  menjadi terlecut kembali semangatnya, terdapat beberapa momen dalam hidupku. Dan itu semua nggak jauh-jauh dari renjana yang melekat pada diriku. Apa itu? DUNIA KEPENULISAN.

Pada tahun 2019, aku tergabung dalam volunteering mengajar untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Saat itu, coordinator volunteer memintaku untuk mendampingi salah satu adik berkebutuhan khusus, tepatnya tunanetra low vision yang mau masuk UNS. Tentu saja dengan senang hati aku mengiyakan.

Si adek pun menghubungiku melalui pesan WhatsApp. Kami intens berkomunikasi. Ia menayakan hal-hal administratif padaku, atau yaa sekadar curhat-curhat gitu. Kami pun menjadi teman yang baik saat itu. Otomatis si adek menyimpan nomorku dan aku pun melakukan hal yang sama. Maka, kami bisa melihat status satu sama lain dan saat itu aku rajin menulis di blog dan membagikannya di status WhatsApp.

Hingga hari tes tiba. Si adek ini minta bantuanku untuk mengantarnya ke suatu gedung di UNS, tepatnya di UPT TIK, yang mana beberapa bulan lalu rokku pernah kesrimpet gara-gara sepedaan dan kurang hati-hati. Masalah rok kesrimpet nggak perlu aku bahas yaa. Kalau diinget-inget bikin ketawa dan malu, hahaha, tapi aseli, lucu kali momen pas itu. Oke, balik ke pembahasan.

Si adek ternyata datang bersama mamanya saat hari tes tiba. Aku pun mengobrol sejenak dengan mamanya. Aku bilang ke pihak panitia, bahwa ini si x yang hendak mengikuti ujian, serta aku menjelaskan keadaan si adek. Panitia pun segera tanggap dan mengantar ke ruang tes. Aku lega.

Ketika aku hendak beranjak karena ada kegiatan lain, aku ngobrol sebentar dengan mamanya. Dia bilang yang kurang lebih gini, “Mbak, makasih yaa udah bantu Umi (nama si adek) buat persiapan masuk ke UNS. Saya sebenarnya nggak terlalu yakin kalau dia bisa lanjut ke UNS, kan ini univ bagus ya di sini. Ditambah keadaannya yang seperti itu. Tapi, semangatnya buat belajar saya acungi jempol dan ada Mba Zalfaa yang mau bantu,” ujar mamanya.

Aku cukup tersentuh saat itu. Padahal, menurutku aku tidak membantu terlalu banyak. Kalau Dek Umi, nanya, ya aku jawab. Kalau butuh teman untuk bercerita, ya aku siap mendengarkan. Aku pun mengangguk dan terharu atas pernyataan mamanya.

Hari demi hari berlalu dan pengumuman seleksi pun tiba. Dek Umi tiba-tiba mengabarkan padaku, yang intinya.. DIA DITERIMA! Terus mengirim pesan yang kurang lebih, isinya begini..

“Assalamu’alaikum, Mba Zalfaa. Mba, alhamdulillah aku diterima di UNS! Makasih banyak yaa, Mba selama ini udah bantuin aku. Oh ya Mba, aku juga pembaca blog Mba Zalfaa lo, aku terinspirasi oleh tulisan-tulisan Mba. Di situ, aku paling suka judul artikel (dia menyebut salah satu artikelku). Aku inget bahwa Mbak pernah menuliskan kalau rencana Allah itu yang terbaik dan emang gitu ya,”

Aku tidak bisa tidak bangga dan susah untuk menahan air mata yang menyeruak. Dikkkk.. kalau kamu ngomong langsung, udah bisa dipastikan Mba akan langsung meluk kamu dengan mengucapkan selamat dibalut rasa haru yang luar biasa, karena Mba Zalfaa tahu prosesmu dari awal sampai bisa diterima itu nggak mudah.

Kalau inget momen itu gais, aku merasa kayak.. menjadi berarti bagi orang lain dan itu sesuatu yang melegakan. Entahlah, kalau disuruh nulis tentang momen paling membanggakan, ya gitu, tulisanku bisa bermanfaat bagi orang lain dan ada nilai kebaikan yang ia dapat.

Selain itu, sebagai jurnalis kampus, sering ada nomor yang tidak dikenal mengirimiku pesan, entah untuk mengabarkan undangan liputan atau bertanya bagaimana prosedur agar dirinya/komunitasnya/Prodinya bisa diliput ke laman website resmi UNS. Sebagai Jurnalis di Humas, aku pun meladeni pertanyaan mereka. Dan.. ketika setelah diliput mereka merasa senang dan benar-benar berterima kasih kepadaku.

Lagi-lagi hatiku hangat. Bahkan, ada yang pernah sampai hampir maksa buat ngasih gue duit, karena di penelitian dia, sudah ada anggaran untuk publikasi. Namun, sesuai kode etik jurnalis, aku menolak dengan halus uang itu. Beberapa dosen memang begitu wkwk. Kalau mereka mau publikasi penelitian, pasti ada anggaran khusus untuk publikasi di media. Nah, aku menemui beberapa kasus, yang pasti, para dosen setelah selesai aku liput acara/penelitiannya akan bertanya “Dek berapa biayanya?” dan aku selalu bilang bahwa kami tidak memungut biaya apapun.

Aku ingat sekali.. salah satu dosen memberikan respon yang membuat hatiku gerimis karena haru. Huhu, gampang banget ya aku tersentuh. Intinya si Ibu awalnya bilang kalau ada duit buat publikasi media tapi aku bilang kalau kode etik jurnalis, nggak boleh menerima uang. Beliau pun menjawab “Mulia sekali ya, Dek pekerjaanmu. Semoga urusanmu dilancarkan Allah ya. Ibu sangat berterima kasih,” dengan serentetan doa lainnya. Bahkan, aku yang saat itu dan sekarang sedang memajang foto profil di WA dengan gambar profil kakiku ketika di suatu pantai di Pacitan, turut dipuji olehnya. Katanya, saya belum pernah lihat Mba Zalfaa, tapi dari lihat kakinya aja, sepertinya Mba juga cantik yaa. Haha. Aseli, mood banget waktu itu. Juga, ada dosen lain yang bilang terima kasih ditambah “Lemah teles, Gusti Allah sing mbales yo, Mbak.” (Tanah basah, semoga Allah yang membalas “kebaikan” Mba ya). Ungkapan yang hampir sama seperti Jazakallah khoiron. Ah, suka sekali aku, kalau ada orang bilang kata itu. Enak didengar.

Begitulah gais, sebenarnya ada beberapa momen. Tapi, nanti malah jadi satu bab novel kalau aku tulis semua. intinya, patronusku adalah momen-momen di mana saat seseorang/sekelompok orang merasa senang dan lega atas tulisanku. Entah itu tulisanku yang di blog, maupun produk jurnalistikku. Oh ya, aku kan lebih sering memperbarui status tentang kutipan atau insight baru ya, beberapa temanku, menjawab statusku dan berterima kasih padaku karena telah membagikan hal itu. Lagi-lagi, kalau ada pesan seperti itu, mendung di hatiku lenyap seketika. So yeaaah. My patronus is something that relate with WRITING. It’s a plush to feel, think, and make a writing that inspire others.

Em, sebelum menutup ini, sebenarnya aku rada galau. Satu tahun lagi, kalau Allah mengizinkan, aku akan lulus dari kuliah jenjang sarjana. Renjana dan patronusku sudah jelas, yakni hal yang berhubungan dengan menulis. Namun, dari orang tua, dosen, bahkan Kaprodi meyakinkan bahwa aku mampu menjadi pengajar yang baik. Eh, tapi kan mengajar nggak harus menjadi guru/dosen yaa, *nah ngeles nih si Zalfaa.

Intinya, aku di persimpangan tentang memilih karir atau melanjutkan studi di bidang jurnalistik atau pendidikan? Aku galaauuwwww… ini bukan pilihan yang mudah. Tapi, ya sudah lah, biarkan aku membaca beberapa buku dulu dan meminta petunjuk Allah untuk memantapkan pilihan hati. Kamu yang sedang membaca ini, juga boleh mendoakan yang terbaik bagiku, hehe. Thanks in advance! Jadi.. Berkarir? Lanjut studi? Atau..? Wallahu a’lam bisshowab. Wassalamu’alaikum!

Belum ada Komentar untuk "My Patronus"

Posting Komentar

Silahkan memberikan saran dan masukan :)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel