Nyala Rindu dan Harapan
Eyang Habibie dan istri tercinta. Sumber gambar: okezone |
“Tak perlu seseorang yang sempurna, cukup temukan orang yang selalu membuatmu bahagia dan lebih berarti dari siapapun.” – BJ Habibie.
Kalimat
itu kembali teringat ketika pertanyaan-pertanyaan ajaib menghampiri gue
akhir-akhir ini. Kemarin baru aja gue ikut Future Leader Challenge (FLC), rangkaian
seleksi tahap akhir di Baktinusa. Banyak sekali hikmah yang gue dapatkan. Salah
satunya adalah menjadi bersemangat dalam memperbaiki diri karena beasiswa yang
gue dapet ini, sumbernya adalah dari dana zakat umat dan gue masuk ke dalam
asnaf fii sabilillah. Masyaallah, masih merinding, terharu, dan merasa belum
pantas mendapatkan gelar ini. Doakan ya gais, gue bisa menjadi seseorang yang amanah
dan fii sabilillah.
Oke,
di salah satu sesi fasil kemarin, gue dapat pertanyaan.
“Zalfaa,
target nikah umur berapa?”
Beberapa
hari setelahnya, pertanyaan yang senada, terlontar dari bu lurah, tempat gue
sedang menjalankan KKN.
“Mbak,
sudah punya pacar belum?”
HMMM
Karena
itu, gue menjadi tergelitik untuk menulis di tengah-tengah kesibukan KKN. Ini
pas gue nulis sedang berada di teras rumah joglo milik pak lurah. Jadi, writing
with a view gitu. Sejauh mata memandang, di depan gue terhampar berbagai
macam tanaman hias yang menyejukkan mata. Selain itu, arsitektur bangunan kuno
rumah joglo yang terawat, semakin membuat pw saat gue nulis ini. Cuaca juga
mendung, jadi syahdu gitu deh buat nulis. Ok, here we go.
Sebenernya,
gue selalu menghindar untuk menulis topik yang mengarah ke sini, tapi semakin
dihindari, malah nggak bisa menerapkan self-awareness tentang hal
ini. Oke, jadi izinkan gue mengemasnya dalam sebuah tulisan sederhana di sore
hari.
Pertanyaan
pertama, ketika fasil gue nanya kapan target nikah, awalnya gue menolak untuk
menjawab. Yaa, karena target nikah gue nggak dalam waktu dekat, jadi pekiwuh
mau jawab, wkwkwk tapi karena diminta untuk menjawab, akhirnya gue menyebutkan
sebuah bilangan umur.
Pertanyaan
kedua, gue jawab dengan senyuman hangat penuh tanda tanya. Pacar, apa itu
pacar? Haha. Gue jawab, “ya doain aja ya, Bu”, eh beliau bilang, “oh brati
sudah ada ya, Mba?”. Gue jawab dengan menggeleng sambil bilang belum, haha. Ya karena
prinsip gue emang langsung nikah aja sih.
Sebenernya,
ada satu prinsip juga yang gue pegang dan bisa membuat gue sabar untuk nggak
keburu-buru nikah, prinsip itu adalah, gue nggak mau nikah sebelum menjadi
pribadi ideal versi pria idaman gue.
Dapet
poinnya nggak?
Jadi,
misal begini, gue pengen dapet suami yang salih, nggak kasar, berpengetahuan
luas, dan sabar. Ya, gue harus bisa dong jadi sosok yang seperti itu dulu. Oke,
setelah nikah mungkin emang bisa belajar bareng, tapi bakal lebih seru
kayaknya, kalau awalnya sama-sama udah punya pondasi yang baik dulu.
Selain
ingin memperbaiki pribadi, ada alasan lain kenapa gue menunda nikah. Adalah teringat
perjuangan orang tua gue. Gue ceritain yaa. Selama tiga hari acara di
Jogja-Magelang kemarin, gue sempet menangis di malam hari, bukan, bukan karena
tertekan atau panitia suruh guling-guling, enggak. Tapi gue kangen orang tua
gue sama adek semata wayang.
Karena
setelah gue FLC, gue emang pulang tapi habis itu langsung KKN selama 45 hari. Dan,
ketika pulang, gue naik KRL. Saat itu penuh, maka gue berdiri. Menyiasati kegabutan
biar nggak cuma berdiri doang, gue berinisiatif untuk mendengarkan kajian dari
Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri. Di situ, berdurasi satu jam penuh, hampir pas
dengan estimasi perkiraan waktu sampai di stasiun Delanggu.
Awal
mendengarkan, nada ustadz Nuzul udah sendu dan terharu gitu. Gue lihat di
Youtube tapi nggak lihat videonya, karena gue kantongin gawai di saku jaket,
jadinya kayak dengerin siniar (podcast). Daaaan, selama perjalanan gue nggak
bisa menahan nangis. Alhamdulillah, pakai masker saat itu, jadi nggak terlalu keliatan
waktu nangis.
Gue
mendengarkan kisah-kisah orang salih terdahulu bagaimana mereka memperlakukan
kedua orang tuanya. Bagaimana Rasul memerintahkan untuk memuliakan ibu disusul
dengan bapak, bahkan perintah berbakti tertuang jelas di Alquran yang berdampingan
perintah untuk menjadi orang yang bertakwa. Ahh, dasarnya gue gampang
tersentuh, baru beberapa menit ngelap air mata, gue kembali meneteskan air
mata. Ya untungnya nggak sampai sesenggukan gitu, gue menghadap ke arah jendela
dan penumpang lain pada sibuk sendiri-sendiri. Jadi, nggak ada yang notice sepertinya
kalau gue nangis bombay selama perjalanan itu. Hati gue bener-bener tersentuh,
ditambah rasa rindu yang memuncak saat itu.
Ah,
saat menulis ini pun, gue terhura lagiii. Haaa, ya Allah, kuat-kuat deh.
Tapi
emang beneran, keluarga adalah support system terbaik gue setelah Allah
dan Rasulullah. Mereka mau menerima kondisi gue di kala terbaik maupun
terburuk. Makanya, pas tadi gue diwawancara jurnalis Tribun, siapa sih support
system yang gue miliki, ya gue jawab dengan tegas, yang utama adalah kedua
orang tua gue. Asli dah, nggak bisa menulis apapun lagi saking baiknya beliau
berdua menghadapi anaknya yang sering menguji kesabaran ini. Semoga Allah
merahmati beliau berdua dan berkenan mengumpulkan kami di surga kelak, aamiin.
Terus
apa hubungannya sama nunda nikah?
Ya, gue pengen berbakti dan mengabdi dulu pada keduanya. Melayani sepenuh hati dan memenuhi perasaan keduanya dengan penuh bahagia dan ketenangan. Ya, kalau motivator nikah muda pasti bakal bilang, kan bisa dijalankan keduanya bersamaan yakni membahagiakan kedua orang tua sembari nikah. Tapi, buat gue.. hal ini nggak bisa ditawar. Orang tua adalah harta yang berharga banget nget nget bagi gue. Jadi, sebelum bakti tertinggi gue pindah ke suami, biarkan gue mengecap momen bahagia dulu bersama keduanya.
Oke,
mungkin itu aja kali yak wkwk. Gue masih merasakan homesick btw. Menulis
ini menjadi salah satu healing gue. Yaa, kemarin pas ngelepas gue KKN,
mama dan adek gue nangis dong, huhu. Kan hati adinda, jadi tak tega
meninggalkan kampung halaman, aih. Tapi nggak papa, semoga banyak hal baik juga
yang bisa memuat kontribusi gue di tempat KKN sekarang yaitu di Desa Tanduk, Ampel.
Mohon doanya ya gais.
Terakhir,
kalau ditanya bagaimana kriteria pria idaman versi Zalfaa?
Balik
lagi ke kutipan awal yang gue tulis besar-besar.
“Tak
perlu seseorang yang sempurna, cukup temukan orang yang selalu membuatmu
bahagia dan lebih berarti dari siapapun.” – BJ Habibie.
Ya,
dia memang tak sempurna tapi mampu mengerti kurang lebihnya gue. Gue yang
termasuk tipikal introvert, yang nggak bisa approaching atau sok asyik
duluan, dan baru bisa akrab kalau udah merasa satu frekuensi dan nyaman. Intinya,
bisa membuat gue merasa berarti, nyaman, dan disayangi. Gue juga bukan orang
yang sempurna, jadi nggak nuntut yang muluk-muluk juga. Asal takut sama Allah,
tau sirah nabi, mampu menjadi ayah yang baik bagi anak-anak kelak, dan sayang
sama orang tuanya juga mertuanya, wkwkk.
Penantian
ini, pasti nggak akan sia-sia. Gue yakin sama janji Allah. Gue juga nggak
terburu-buru. Biar Allah yang memilihkan seseorang terbaik bagi gue. Udah capek
berharap sama manusia, jadi ya emang sedang nggak berekspektasi ke siapapun
atau suatu apapun. Biar Allah yang memilihkan manusia itu. Ehem, gue pernah
di-DM salah satu pembaca blog gue, dia bilang yang intinya “Kak, beruntung
banget ya yang bakal jadi jodoh Kakak”, gue tersenyum dan mengaminkan. Em,
tapi, mari kita lihat, siapakah yang beruntung, dia yang tertulis di Lauhul
Mahfudz atau gue yang beruntung memilikinya? Wkwkwk. Ya Allah, nitip doi yang
belum tau siapa dia yaa, mudahkanlah urusannya, dan tolong lindungi setiap
langkahnya. Semoga dia nggak lama-lama dan berbetah diri di pangkalan jomlo. Kalau
udah siap lahir batin, begitupun targetku telah terselesaikan, pertemukanlah
kami dalam waktu dan suasana yang terbaik, aamiin yaa rabbal ‘alamin.
Belum ada Komentar untuk "Nyala Rindu dan Harapan "
Posting Komentar
Silahkan memberikan saran dan masukan :)