Campur Aduk Manis Pahit Kehidupan

white peace lily, sumber gambar: pinterest

Kalau ditanya apa yang pengen gue tulis, sebenernya ada banyak hal yang berputar di kepala gue. Cuma, kali ini gue pengen jujur terhadap perasaan gue sendiri. Sekali lagi, menulis adalah cara terbaik bagi gue untuk mengungkapkan perasaan, entah senang atau sedih. Ehem, jadi gini..

Akhir-akhir ini, banyak kejadian yang membuat gue merenung lebih dalam. Sebagian membuat hati hangat hingga mata berkaca-kaca, sisanya, membuat sendu jika memikirkannya. Beberapa kali, topik pembicaraan gue dengan teman sebaya adalah “menuju dewasa”. Ya, masa-masa ketika hendak lulus dari kuliah, mungkin bagi sebagian besar orang akan bertanya-tanya, mau jadi apa atau mau lanjut studi ke mana.

Orang-orang pun demikian. Mereka menceritakan keluh kesahnya mengenai ketakutan menjadi orang dewasa. Gaji pertama, mulai menyicil rumah, keinginan untuk meminang kekasih hati, atau tekun belajar untuk meraih beasiswa bergengsi itu. Macam-macam deh ceritanya, yang gue tangkap adalah.. ada nada kekhawatiran di situ.

Khawatir tentang kepastian masa depan itu sendiri. Khawatir apakah akan mendapatkan pekerjaan idaman atau tidak. Khawatir apakah sang pujaan hati dan keluarganya akan menerimanya dengan hati lapang. Khawatir jika ekspektasi orang-orang tidak bisa dipenuhinya. Khawatir jika mengecewakan mama papanya. Khawatir tentang nasib finansial ke depan dan seabrek lainnya.

Nggak memungkiri, dulu gue juga sempet lewah berpikir mengenai hal itu. Tapi.. gue sadar kalau rezeki sudah ada yang mengatur. Klise? Well, mungkin terdengar begitu. Tapi, itulah yang gue yakini dan bisa membuat hati tenang. Bukan berarti juga, kalau rezeki sudah ada yang mengatur, kita jadi minim usaha. Tetep, rancang masa depan dengan plan yang matang, usahakan yang terbaik, sisanya biar Allah yang menentukan.  

Selain itu, gue teringat perkataan mentor gue, kalau bertambah umur itu merupakan suatu keniscayaan, tapi untuk menjadi dewasa merupakan sebuah pilihan. Gue sangat setuju dengan pernyataan itu, apalagi setelah menonton sebuah film di Netflix berjudul “Senior Year”, di situ gue belajar bagaimana kompleks dan indahnya menjadi seseorang yang dewasa. Di mana orang dewasa paham kalau kepopuleran semu di media sosial tidak terlalu penting, omongan orang lain tidak berarti baginya, kecantikan maupun ketampanan bukan hal utama, dan yang dicari adalah ketenangan batin dan kawan-kawan yang tulus.

Hmm, that’s why, akhir-akhir ini, gue rada nggak aktif di Instagram. Bukannya menghindari sosialisasi, but I wanna life meaningful. Membangun flow yang gue punya agar bisa fokus pada kehidupan nyata dan prioritas yang harus segera gue selesaikan. Rasanya lebih utuh ketika melakukan sesuatu di dunia nyata dengan mindfulness. Hidup minim sorotan dan bisa menjaga privasi, sungguh melegakan. Sampai sini get my point ya? Live at the moment. Sesuatu yang sudah pasti ada di depan mata, ya lakukan dengan sebaik mungkin. Masa lalu yang kurang mengenakkan, biarlah tertinggal di belakang dan menjadi pelajaran berharga. Masa depan yang masih misteri, biarlah menjadi kejutan indah dari Sang Mahakuasa.

Gue baru berusaha memperbaiki beberapa hal. Jujur, gue merasa kewalahan atas amanah-amanah yang udah gue ambil. Gue udah stop tawaran yang datang. Bukannya berhenti berbagi, namun gue sadar akan kapasitas diri. Apalagi, ada amanah skripsi yang melambai untuk segera dituntaskan agar bisa segera berfokus pada lain hal. Jadi untuk saat ini, gue sedang kembali menata prioritas hidup. Sibuk dan lelah? Hmm, bisa jadi. Tapi inilah konsekuensinya dan yah, gue yang rapuh ini butuh sandaran kepada Allah Yang Mahakuat.

Oke, poin tentang menjadi dewasa, gue akhiri sampai sini. Ehem, to be honest gais, gue pengen puasa sosmed. Bener-bener puasa media sosial seperti Instagram, tapi beberapa saat yang lalu, hati gue dibuat hangat oleh pengakuan seseorang. Bentar, gue kalau keinget itu mau nangis rasanya. Jadi, saat itu, gue sedang merasa sangat lelah dan sedikit frustasi kenapa tugas nggak kelar-kelar, tapi nambah terus. Gue mengeluh, kok gini amat sih. Eh, temen gue mengirimkan pesan yang sangat menghangatkan hati. Intinya, dia bersyukur atas kehadiran gue di hidupnya. Heee, ini nggak ada angin nggak ada hujan, bisa-bisanya ini orang bilang kayak gitu :’) dan dia menjabarkan alasan kenapa menurutnya gue berarti. Dia cewek btw, gue bisa merasakan ketulusannya, hikss.

Gue nggak bisa menahan air mata saat itu. Hmm, bener ya kalau ada ungkapan yang bilang bahwa jangan meremehkan kebaikan sekecil apapun. Boleh jadi, menurut kita itu hal yang sepele, namun bagi orang lain ternyata bisa sangat berarti. So gaisss, jangan remehkan kebaikan sekecil apapun ya, sesederhana melempar senyum termanis saat berjumpa teman, berbagi status bernada kebaikan di media sosial, bertanya kabar kepada kawan lama, dan sebagainya. Kita nggak pernah tahu, apa aja yang udah temen kita alami, mungkin harinya sedang berat dan mendung, eh pas ketemu kita jadi adem dan cerah, azek. Ya siapa tau kan ya.

Terakhir, di tulisan ini, gue mau mengucapkan terima kasih pada seseorang yang bahkan gue pun nggak tau siapa. Hmm, ternyata, unggahan tulisan sebelum ini, cukup bikin heboh temen-temen gue. Gue kira awalnya yang kepo cuman temen-temen Baktinusa Solo, eh di luar lingkaran Baktinusa ada yang membicarakan juga.  

Jadi gini.. di bulan Syawal kemarin gue ngebatin, “Hmm, asyik kali ya kalau ada yang datang melamar, gimana ya rasanya”. Kurang lebih gitu. Ini tuh sebelas dua belas sama kejadian waktu gue di Aceh buat ikut lomba MTQMN. Wait, kalau keinget itu rada ngakak. Jadi, pas hari kedua atau ketiga di asrama mahasiswa, gue ngebatin “Hmm, cuma gini doang ya ikut lomba di luar Jawa. Nggak ada kisah-kisah kayak di film gitu.” Eh, keesokan harinya, ada sosok laki-laki dari kafilah kampus lain yang nyamperin gue di Masjid Baiturrahman, ahahaha Ya Allah. Mas-mas yang ikut cabang lomba hifzil Quran dan menghebohkan kafilah akhwat UNS karena kejadian sore itu.

Skip.

Nah, begitu juga dengan ini. Gue iseng ngebatin begitu, eh lha kok beneran ada yang nanyain gue lewat perantara :’))). Nah loh, hayolo Zallll. Haduh, antara pengen ketawa dan panik tentunya. Awalnya, gue kaget dan cuma cerita ke sobi dekat. Ehm, gue juga minta petunjuk Allah, apa iya mau disegerakan, tapi gue kembali teringat akan life plan gue yang nggak bisa diganggu gugat. Setelah lulus kuliah, gue udah menentukan mau ngapain dan itu nggak bisa ditawar.

Gue pun meneguhkan niat dan mengusir pikiran untuk menyegerakan itu. Untuk mengantisipasi kecanggungan, gue nggak tau ya, siapa sosok laki-laki ini, maka sebelum bertukar CV pun, gue memutuskan untuk tidak lanjut. Hmm, kalau gue kenal, kan malah jadi canggung kalau ketemu, jadi ya, gue bilang ke perantara kalau nggak bisa meneruskan proses ini.

Tapi.. siapapun itu. Gue sangat menghargai keberanian dan niat tulusnya. Halo, teruntuk kamu yang aku tidak tahu siapa, kalau kamu sedang membaca ini, saya mau mengucapkan terima kasih untuk niat baikmu itu. Sungguh, saya terharu dan sangat menghargai keberanianmu. Niatmu tulus dan menempuh jalan yang disyariatkan, namun maaf, waktunya belum pas. Semoga kamu mengerti. Saya harap, jika kamu memang ingin menyegerakan hal baik itu, Allah segera kirimkan perempuan terbaik yang bisa melejitkan takwa dan menyejukkan pandanganmu, amin.

Hhh lega. Untuk urusan jodoh ini gais, gue bener-bener pasrah sama Allah. Untuk saat ini, gue memang belum ada pikiran serius ke situ. Namun, karena kejadian kemarin, malah membuat gue tersadar untuk menyiapkan hal itu, entah kapan datang jodohnya.

Sempet sih dulu condong ke seseorang, tapi melihat reputasinya dan keindahan akhlaknya, gue yakin, nggak cuma gue yang kagum. Gue sempet cerita ke sahabat baik gue, “Mba, tapi kayaknya dia banyak yang ngefans deh. Aku sadar diri aja.” Eh sahabat baikku nyeletuk, “Loh Zals, bisa jadi seseorang yang diam-diam mengagumi kamu juga berpikir demikian, banyak yang kagum ke kamu”. Gue tersenyum, hmm bisa aja sobi gue yang satu ini.

Tapi itu dulu yaa. Sekarang sih udah nggak terlalu mikir dan hati alhamdulillah terasa tawar, nggak condong ke siapapun, yang gue yakini value attracts value. Selama gue memperbaiki diri, pasti akan Allah hadirkan sosok yang hampir mirip sama gue, yang kelak merasa sangat beruntung memiliki gue sebagai partner hidupnya. Pun gue, merasa sangat bersyukur memiliki dia sampai bilang “I don’t need the world’s attention, yours is enough” azek. Tapi, sekali lagi, gue tegaskan, dalam waktu dekat, gue belum bisa melangkah ke arah situ karena ada mimpi terpendam yang hendak gue raih pascakampus.

Hmmm, lumayan panjang ya gais tulisan kali ini. :’). Gue juga sedang capek btw, rada lewah berpikir tentang skripsi. Tadi gue habis konsul, pak dosen selalu mewanti-wanti agar gue ngerem dulu kegiatan selain skripsi. Maunya sih gitu pak :’) tapi dah terlanjur mengambil beberapa tanggung jawab. Gue sampai minta tolong ke sahabat gue, buat bantu ngingetin gue dan ngerem keinginan gue ikut ini itu. Emang, bisa bahaya kalau gas terus, ntar skripsi gue nggak kelar-kelar. Mohon doa ya gais, biar sebelum Agustus, skripsi gue bisa rampung. Dah ya gitu dulu, gue mau lanjut sesuatu. Mumpung besok libur, bisa begadang barang sebentar buat menyelesaikan apa yang seharusnya diselesaikan dan buat kalian... Selamat beristirahat!

Dari gue, yang berusaha memperbaiki skala prioritas.  

1 Komentar untuk "Campur Aduk Manis Pahit Kehidupan"

  1. Dulu, sebelum suka bunga aster, suka juga bunga Lily yang sering dijadikan lambang berduka. Hemm bener banget kehidupan memang seperti itu, kalau datar gak seru kayaknya. Pokoknya tetap semangat, gak boleh menyerah. Terima kasih sharingnya!

    BalasHapus

Silahkan memberikan saran dan masukan :)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel