Hatiku Rintik Rinai

dokumen pribadi, taken by ersya


Selembar aksara tergores pada kertas putih. Tidak terlalu pekat tintanya, tidak terlalu jelas pula jika dilisankan. Dipeluknya rinai-rinai kebijaksanaan yang tersisa. Takut hilang hingga akhirnya pekat. Sejenak, menjuntailah harapan itu.

Tersenyum sambil bergumam tak pasti. Getaran suaranya berdengung hingga cakrawala. Mencoba mendengar apa yang dikatakan tadi, nihil. Terus berulang hingga akhirnya lelah, tapi tidak patah. Terus mencoba melangkah.

Puan, merasa bahagiakah kau atas hadirnya sang surya? Sinarnya indah, elok dipandang, dan kehangatannya memabukkan hingga bunga-bunga yang bermekaran itu pun menoleh terpesona. Tak letih-letihnya engkau memandang sinar di ufuk timur itu. Tersenyum kikuk dan rapalan pinta pada Tuhan.

Pernah menjadi pasi, menerka musim selanjutnya. Menjarang sejenak untuk memastikan, takut terjatuh seperti yang lalu. Detik jam yang terus berdetak, mata yang terpejam, dan pikiran yang terus berkelana. Muncullah rembulan itu.

Rembulan yang sulit untuk ditolak kehadirannya. Merangkai cahaya yang lembut, seperti nirwana. Merdu nyanyian terdengar. Elok suasana memeluk. Terulur milyaran kemungkinan. Mengangguk penuh syahdu dan berkaca. Bersyukur amat dalam di hati terdalam.

Selembar daun jatuh ikut bertepuk tangan atas nyanyian alam yang terdengar demikian indahnya. Sore yang cerah setelah bersepeda itu. Tak mengira akan sedemikian mengejutkan ini. Tak mengira akan secepat ini. Tak mengira akan demikian menakjubkan. Namun, tersisa pertanyaan.. benarkah langkah penghapusan jejak keraguan ini? Ah, sebentar.. ada yang terlupa. “Yang fana adalah waktu bukan?”. Doapun terus bergetar dan berlanjut. 

Belum ada Komentar untuk "Hatiku Rintik Rinai "

Posting Komentar

Silahkan memberikan saran dan masukan :)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel