BERMAIN DAN MENGAMBIL PERAN (Sebuah Perspektif Vertikal Dan Horizontal)

sumber gambar : pinterest


Peran adalah deskripsi sosial tentang siapa kita. Menurut seorang ahli yang juga merupakan penulis buku ajar fundamental keperawatan, Kozier Barbara, peran adalah tingkah laku seseorang sesuai kedudukannya. Setiap manusia, setiap orang didunia ini memiliki perannya masing-masing. Baik itu dalam bidang keahliannya, pekerjaanya, keberadaanya dalam masyarakat maupun keluarga.
Peran-peran yang dimainkan oleh setiap orang, pasti akan saling berkaitan satu sama lain. Peran ini pula yang nanti dalam pelaksanaannya menjadi tokoh-tokoh penting dalam perjalanan hidup seseorang.
--------
Dia tampak begitu sempurna. Sosok seorang muslimah shalihah. Hijabnya syari, semangatnya menuntut ilmu sangatlah tinggi, punya rasa empati dalam dan peka terhadap keadaan di lingkungan sekitarnya. Sepertinya banyak manusia yang kenal dan menyayanginya.
Dia selalu berdiri paling depan. Bersuara paling lantang. Paling berani berbeda dan teguh dalam pendiriannya sebagai seorang muslimah. Tutur katanya terjaga, meskipun bukan dari kalangan intovert sepertiku. Dia sangat suka bicara.
Entah sejak kapan pastinya, aku lupa awal aku dan dia bertemu, berteman, nampak hampir menjadi sahabat, hingga renggang. Aku, menghilang.
Jatuh dan bangunnya kami selalu bersama, saat itu. Saat aku belum menemukan diriku yang sekarang. Aku ada untuknya. Dia tak ada untukku. Salahku. Salahku, yang terlalu naif. Mencoba menghadapi semuanya sendiri. Hingga aku lupa, apa hidupku tak ada masalah? Kenapa aku tak bisa mendefinisikannya. Semua nampak baik-baik saja. Tapi, jelas ada luka dalam yang tak kusadari menggerogotiku secara perlahan. Namun ku tahan. Hingga ku bisa melesat sejauh ini terlihat tanpa beban.

Ah, tuh kan. Lagi-lagi pikiran naifku menghalangiku untuk mengakui alasan jelasku menghilang. Tidak, tidak.. kami hanya tidak cocok. Bohong!
Kau iri, bukan. Kau iri pada keshalihahannya. Pada teguh prinsipnya. Kau iri karena penampilannya di atas panggung dakwah yang begitu megahnya. Kau iri pada betapa gesit dan cekatannya dia merealisasikan ide-idenya. Kau iri pada nampak mulia tutur, laku dan niatnya.
Iya. Kau iri, bukan! Jujur saja.
Kau terlalu lama berada dalam kepura-puraan bayangan orang. Kau ingin sepertinya. Tapi kau bukan dia!
---------
Sepenggal cerita semi-fiksi dia atas mengawali perjalananku mencari siapa diriku. Perjalanan memainkan peran dan mengambil peran di megahnya panggung dakwah. Sambil terus memaknai QS. Adz-Dzariyat: 56 dan QS. Al-Baqarah: 30 tentang peran sebenarnya siapa kita. Seorang hamba dan juga khalifah penjaga bumi ini.
Tulisannya ini nampaknya akan membawamu berputar maju dan mundur. Namun sedikitnya semoga ada hikmah yang bisa kau maknai lebih. Karena membahas tentang peran akan butuh berlembar-lembar tulisan. Namun singkatnya kedua ayat diatas telah mencakup kedua perspektif kehidupan kita. Perspektif vertikal sebagai seorang hamba yang mengabdikan diri beribadah kebada Rabbnya, dan perspektif horizontal sebagai seorang pewaris bumi yang bertanggung jawab menjaga kehidupan sekelilingnya.
Hingga di sebuah keheningan siang hari di bulan Ramadhan ku menemukan sebauh tulisan yg menjawab kegelisahanku yg tertuang dalam kisah diawal tulisan ini. Kisah dari seorang guru yang persis sama seperti yang terjadi padaku
----------

Jika ras benci atau cinta yang berlebihan tanpa sebab yang jelas adalah salah satu penyakit yang harus diobati, itu sudah kutahu dari dulu. Tapi kalau diobatinya adalah dengan cara dadamu diusap, kepala dipegang sembari didoakan agar kebencian di hatimu terhadap seseorang bisa hilang, seumur hidup.
Aneh memang.
Bagaimana rasa benci terhadap salah satu pelajar yang aku mengajar dikelasnya bisa datang begitu tiba-tiba, tanpa ada sebab bahkan tanpa aba-aba. Aku tiba-tiba tidak ingin memandang wajahnya, pusing mendengar suaranya. Bahkan sungguh baru kutahu bahwa aku bisa benar-benar muntah tatkala secara tidak sengaja melihat wajahnya.
Lebih anehnya lagi dia termasuk pelajar terbaik di kelas, cerdas, aktif, penurut dan yang jelas dia tidak bermasalah apapun denganku. Dia pasti bertanya-tanya dan bingung ketika kemudian aku memintanya untuk duduk di barisan belakang dan tidak dapat dihadapanku. Karena aku bahkan tidak bisa berkonsentrasi sama sekali dalam posisi seperti ini. Dia dan juga teman-teman sekelasnya pasti bingung ketika aku memintanya untuk menuliskan saja pertanyaan yang akan dia lontarkan agar tidak mendengar suarannya yang bisa membuat isi perutku naik ke dada dan menyebabkan mual secara mendadak begitu saja.
Jangan kau kira aku tak ada usaha apa-apa untuk menghilangkannya. Berulang kali aku merenung,berperang dengan diri sendiri dan mencoba menenangkan hati saat kebencian itu memanas-manasi.Usahaku tidak membuahkan hasil
Doa dan dzikir selalu kubaca setiap kali terpikir bahwa ini merupakan salah satu ujian untukku. Namun semuanya belum cukup untuk menghilangkan rasa itu
Setengah mati kucoba sembunyikan kebencian ini darinya, namun sepertinya dia mulai merasakannya juga. Dia lebih baik dia disepanjang mata pelajaranku. Duduk paling belakang dan tak lagi terlihat tersenyum seperti bisanya.
Duuh... Aku telah melukai hatinya, aku telah menyakiti perasaannya
Teman sekamarku yang juga seorang ustdzah mulai merasakan ketidak nyamanan ini, kuceritakan padanya keanehan yang terjadi lengkap dengan pembelaan bahwa rasa itu muncul tiba-tiba dan tanpa sebab apa-apa
Dan entah apa yang ada dalam benaknya, hingga suatu siang sepulang dari masjid selepas shalat Dzuhur dia memintaku berkemas dan kemudian kami berdua bergegas pergi menemui seorang wanita berumur 60 an tahun, temanku ini memanggilnya dengan panggilan Hubabah Umairoh
Kami menunggu cukup lama diruang tamu karna beliau masih menemui tamu yang lain sebelum kami kemudian dipersilahkan menemui beliau diruang tengah rumahnya.
“Therapis?” Dokter jiwa? Psikolog? Atau bahkan dukun? Aku menerka-nerka
Namun bayangan itu hilang seketika, saat aku melihat sosoknya, beliau adalah seorang wanita dengan wajah keibuan, bicaranya lembut dan penuh senyuman, dihadapanya aku mersa seolah bertemu dengan sesorang yang telah lama kukenal.
Siang itu masih dengan memakai mukena selepas shalat Dzuhur, beliau menyambut kami dengan hangat lalu menayakan kabar Al Habib Umar bin Hafidz guru kami.
Kemudian dengan penuh perhatian beliau mendengarkan apa yang dituturkan temanku mengenai diriku tentang rasa benci yang tiba-tiba kurasakan sebagai sesuatu yang tidak wajar, mengingat aku sebelumnya tidak pernah membeci sesorang tanpa sebab yang jelas.
Beliau lalu berdiri menghampiriku, memegang kepalaku sembari menggumamkan doa-doa dan dzikir, tanpa lama kemudian beliau duduk dihadapanku, mengusap dadaku sambil tidak berhenti berdoa. Dan beliau mengakhiri bacan-bacannya dengan meminta kita semua membaca surah Alfatihah bersama.
“Ada 2 orang yang paling banyak didengki oleh orang lain diatas muka bumi ini” Kata beliau sembari menuangkan teh dicangkir kecil dan menghidangkan dihadapan kami
“Orang yang berharta dan orang yang berilmu” lanjut beliau
“Jika kamu jadi salah seorang dari mereka, pandai-pandailah menjaga sikap saat bergaul dan berurusan dengan orang lain. Pandai-pandai pula menyimpan rasa. Karna bahkan orang yang terlihat dicintai oleh kedua orang inipun akan menimbulkan iri dan dengki dari yang lainnya. Seperti itulah yang terjadi padamu”  Katanya bijak.
Kami pulang setelah mendengarkan anjuaran beliau untuk membaca bebrapa dzikir saat suasana hati sedang tidak menentu.
Dan Subhanallah....
Apa yang terjadi sesampainya di asrama sungguh luar biasa. Di pintu masuk aku berjumpa dengan pelajar yang pagi tadi perasaanku dengannya masih dipenuhi dengan kebencian. Aku pandang wajahnya dan ia menunduk takut, kucari kebencian yang seminggu ini menyiksaku dan meyiksanya tentu saja, namun rasa itu sungguh-sungguh tak lagi bersisa, sudah hilang entah kemana.
Aku langsung menyalami dan memeluknya, sementara dia kebingungan, tak mengerti apa yang terjadi.
----------
Dalam megahnya panggung dakwah ini tak jarang kadang saling bersenggolan sudah pasti terjadi. Namun kita sadar bahwa itu sangat menyiksa. Bagaimana tidak panggung ini adalah panggung kebaikan mana bisa ada selisih diantara para tokohnya. Dari sini, akhirnya Allah tuntun saya untuk terus belajar memaknai setiap peran yang saya emban dan atau akan saya akan ambil kedepannya. Bahwa tak ada niat lain, kecuali semuanya harus karenaNya.
Mengenal siapa diri kita dan memainkan sebaik-baiknya peran kita adalah pesan saya bagi siapa pun kalian, terutama sahabat dan saudara ku para pejuang dakwah. Jalan dakwah ini masih sangat panjang, sebelum jauh melangkah terus memperbaiki diri adalah penting adanya.
Salam ukhuwah

Penulis : teh lany yang berhati lembut

Belum ada Komentar untuk "BERMAIN DAN MENGAMBIL PERAN (Sebuah Perspektif Vertikal Dan Horizontal)"

Posting Komentar

Silahkan memberikan saran dan masukan :)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel